بِسْــــــــــــــــمِ
اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Pada zaman sekarang ini, dalam keadaan lapang saja
terkadang seseorang enggan menerima tamu. Melayani tamu terasa hanya merepotkan
saja. Apalagi dalam keadaan sempit seperti itu. Hampir-hampir tak terpikirkan
untuk memberi. Bahkan inginnya justru mengambil atau meminta. Padahal, dibalik
kesempitan itu ada peluang meraih keberuntungan dan kemuliaan dari Allah. Nah
tidakkah kita ingin menggapainya ?
Pintu Keberuntungan
Bagaimana
dengan kita sendiri ? saat dalam keadaan lapang, mungkin kita mampu memberi,
apalagi dapat rejeki nomplok, kita pun tak segan berbagi. Mengundang family,
tetangga, kenalan untuk makan-makan dan memberi bingkisan. Tapi itu semua bukan
keistimewaan. Sebagai orang yang telah mendapat karunia, kita memang sudah semestinya
wajib bersyukur.
Namun bagaimana halnya dalam keadaan sempit
? yang sering terjadi adalah merasa tidak mampu memberi. Bahkan terkadang meski
sebenarnya ada yang bisa disisihkan, ada perasaan belum bisa memberi, karena
keperluan diri yang masih banyak. Kebutuhan kan tak terbatas ? Demikian
pikirnya. Setelah kebutuhan frimer terpenuhi, muncul kebutuhan skunder.
Kemudian muncul lagi kebutuhan tersier. Bahkan tidak jarang memaksakan diri
memenuhi keinginan dengan berutang sampai-sampai lebih besar pasak dari pada
tiang. Bagaimana akan mampu memberi jika dirinya selalu merasa kekurangan ?
Sebesar apapun tidak akan pernah cukup. Bukan karena kurang banyak hartanya,
tetapi diri ini telah terjangkit penyakit hidup serakah dan panjang
angan-angan.
Yang membuat seseorang kian berat bedermawan
adalah adanya rasa cinta yang berlebihan dengan kekayaan. Harta dunia itu telah
masuk menghujam dalam hati sehingga terasa sangat berat melepaskannya.
Eksistensi dirinya telah digantungkan kepada harta. Apalagi jika ia merasa sangat
memerlukannya. Seolah itulah satu-satu tali pengaman dirinya. Memberi berarti
memutuskan tali pengaman yang akan membuatnya terjatuh dalam kesengsaraan.
Ibarat seorang pemanjat tebing yang jatuh terhempas kedasar jurang.
Itulah
ilusi nafsu dan tipuan setan. Saat demikian itu, seseorang telah ditutup mata
hatinya bahwa Allah Maha Pemurah. Perintah Allah agar berkorban dipandangnya
akan menyengsarakan dirinya. Padahal Allah hendak menempatkannya pada tempat
kemuliaan, jika ia berani melepaskan hartanya dijalan Allah. Bahkan saat
dirinya sangat membutuhkannya, itulah
pintu terdekat keberuntungan bagi orang yang mampu berkorban. Inilah tanda dari
seseorang yang memiliki kualitas taqwa yang sebenarnya (muttaqin).
Orang demikian itu, sandaran utamanya bukan lagi harta
benda, tetapi Allah. Ia lebih memercayai
dan meyakini yang disisi Allah daripada yang ada di genggamannya. (Muttaqin
yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran 3: 134)
Bersyukurlah mereka yang mampu memberi, meski dalam
kesempitan. Ia mengutamakan orang lain meski dirinya sangat membutuhkan.
Ekspresi terindah dari persaudaraan adalah adanya
kelapangan hati. Kita hendaknya sabar menerima kekurangan dan kelebihan teman.
Berikan pintu maaf atas kekhilafannya. Tingkatan yang lebih tinggi lagi adalah
menyintai saudaranya seperti menyintai diri sendiri. Sesungguhnya pintu-pintu
keberuntungan menuju Allah sangat dekat.
Tetapi hati inilah yang telah terhijab serakah, cinta
dunia dan egois. Saat kita dalam kesempitan ada peluang memasuki pintu
kemuliaan, yaitu dengan memberi dan berkorban.
“wallaahu a’lam bishshawab”
by. Embun Kehidupan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar