Minggu, 14 April 2013

Kedermawanan di tengah Kesempitan




بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Pada zaman sekarang ini, dalam keadaan lapang saja terkadang seseorang enggan menerima tamu. Melayani tamu terasa hanya merepotkan saja. Apalagi dalam keadaan sempit seperti itu. Hampir-hampir tak terpikirkan untuk memberi. Bahkan inginnya justru mengambil atau meminta. Padahal, dibalik kesempitan itu ada peluang meraih keberuntungan dan kemuliaan dari Allah. Nah tidakkah kita ingin menggapainya ?
Pintu Keberuntungan
            Bagaimana dengan kita sendiri ? saat dalam keadaan lapang, mungkin kita mampu memberi, apalagi dapat rejeki nomplok, kita pun tak segan berbagi. Mengundang family, tetangga, kenalan untuk makan-makan dan memberi bingkisan. Tapi itu semua bukan keistimewaan. Sebagai orang yang telah mendapat karunia, kita memang sudah semestinya wajib bersyukur.
Namun bagaimana halnya dalam keadaan sempit ? yang sering terjadi adalah merasa tidak mampu memberi. Bahkan terkadang meski sebenarnya ada yang bisa disisihkan, ada perasaan belum bisa memberi, karena keperluan diri yang masih banyak. Kebutuhan kan tak terbatas ? Demikian pikirnya. Setelah kebutuhan frimer terpenuhi, muncul kebutuhan skunder. Kemudian muncul lagi kebutuhan tersier. Bahkan tidak jarang memaksakan diri memenuhi keinginan dengan berutang sampai-sampai lebih besar pasak dari pada tiang. Bagaimana akan mampu memberi jika dirinya selalu merasa kekurangan ? Sebesar apapun tidak akan pernah cukup. Bukan karena kurang banyak hartanya, tetapi diri ini telah terjangkit penyakit hidup serakah dan panjang angan-angan.
Yang membuat seseorang kian berat bedermawan adalah adanya rasa cinta yang berlebihan dengan kekayaan. Harta dunia itu telah masuk menghujam dalam hati sehingga terasa sangat berat melepaskannya. Eksistensi dirinya telah digantungkan kepada harta. Apalagi jika ia merasa sangat memerlukannya. Seolah itulah satu-satu tali pengaman dirinya. Memberi berarti memutuskan tali pengaman yang akan membuatnya terjatuh dalam kesengsaraan. Ibarat seorang pemanjat tebing yang jatuh terhempas kedasar jurang.
            Itulah ilusi nafsu dan tipuan setan. Saat demikian itu, seseorang telah ditutup mata hatinya bahwa Allah Maha Pemurah. Perintah Allah agar berkorban dipandangnya akan menyengsarakan dirinya. Padahal Allah hendak menempatkannya pada tempat kemuliaan, jika ia berani melepaskan hartanya dijalan Allah. Bahkan saat dirinya sangat  membutuhkannya, itulah pintu terdekat keberuntungan bagi orang yang mampu berkorban. Inilah tanda dari seseorang yang memiliki kualitas taqwa yang sebenarnya (muttaqin).
Orang demikian itu, sandaran utamanya bukan lagi harta benda, tetapi Allah. Ia lebih memercayai  dan meyakini yang disisi Allah daripada yang ada di genggamannya. (Muttaqin yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran 3: 134)
Bersyukurlah mereka yang mampu memberi, meski dalam kesempitan. Ia mengutamakan orang lain meski dirinya sangat membutuhkan.
Ekspresi terindah dari persaudaraan adalah adanya kelapangan hati. Kita hendaknya sabar menerima kekurangan dan kelebihan teman. Berikan pintu maaf atas kekhilafannya. Tingkatan yang lebih tinggi lagi adalah menyintai saudaranya seperti menyintai diri sendiri. Sesungguhnya pintu-pintu keberuntungan menuju Allah sangat dekat.
Tetapi hati inilah yang telah terhijab serakah, cinta dunia dan egois. Saat kita dalam kesempitan ada peluang memasuki pintu kemuliaan, yaitu dengan memberi dan berkorban.

“wallaahu a’lam bishshawab”
by. Embun Kehidupan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar