Laknat
Allah Muslim Menikah dengan Kafir.
Pernikahan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Seorang
laki-laki dan perempuan yang menginginkan kehidupan normal, sehat dan
menginginkan lahirnya keturunan mereka, tidak akan mampu menghindar dari
lingkaran pernikahan. Bahkan, mau tidak mau, mereka wajib menikah. Namun,
seorang muslim hendaknya berhati-hati agar tidak terjerumus dalam pernikahan
yang Allah tidak menyukai nya, bahkan
melaknatinya. Yakni pernikahan yang hanya didasari
oleh rasa cinta sesama manusia, yang tentu saja tidak murni lagi. Yakni cinta
yang telah banyak terkontaminasi dengan nafsu.
a. Prinsip
Pernikahan dalam Islam.
Islam
memang agama yang sempurna. Dalam salah satu syariatnya, diatur prinsip-prinsip
pernikahan yang jelas bagi umatnya, agar pelaksanaannya nanti tidak membawa madlarat, tetapi menuai hikmah yang
melimpah. Dengan menikah, sepasang suami istri bisa merencanakan corak atau
warna rumah tangga yang meraka bina. Apa
yang terjadi dalam sebuah rumah tangga, baik kejadian kecil maupun kejadian
besar, yang positip maupun yang negative, akan sangat berpengaruh dalam
perkembangan mental spiritual anak-anaknya.
Tidak
dipungkiri bahwa dari masa Anak-anak sampai menjadi dewasa, pola pikir seorang
anak sedikit banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi keluarganya. Dengan
demikian, langsung maupun tidak pernikahan memiliki pengaruh. Demikian pula
dengan pendidikan anak-anak, yang sering kali dipengaruhi oleh hubungan antara
kedua orang tuanya.
Pernikahan dalam islam dibuat dalam prinsip-prinsip yang jelas,
menyeluruh dan sempurna sehingga dapat dikatakan sebagai hukum pernikahan yang
terbaik didunia. Prinsip-prinsip yang sehat itu mencakup
pembagian tugs yang adil antara seorang suami dan seorang istri. Kejelasan
merupakan syarat untuk memberikan ketenangan hati bagi yang menikah dan memberikan
jaminan masa depan bagi keturunan yang dihasilkan baik secara hukum keduniawian
dan secara sosial kemasyarakatan. Keseluruhan proses pernikahan tidak saja
mengatur hal-hal yang sederhana seperti menata hati ketika hendak menikah namun
menjangkau jauh setelah pernikahan terjadi itu menjadi bagian ari membangun
generasi muslim. Kesempurnaan pernikahan seseorang
adalah ketika pernikahannya memberikan kebaikan tidak saja kepada diri dan
keluarganya saja namun untuk enerasi setelahnya.
Demi
mewujudkan prinsip-prinsip yang sehat, menyeluruh dan sempurna tersebut, Islam
memiliki batasan-batasan yang ketat, tegas dan mengingat. Batasan itu melahirkan
beberapa kaidah yang menjadi pedoman ketika umat Islam hendak melangsungkan
pernikahan. Dalam masalah ini, tidak ada hambatan apabila fitrah kemanusiaan
sesama muslim sehingga timbul hasrat untuk menjalin ikatan bernama pernikahan.
Namun, hubungan muamalah yang diperbolehkan Islam terhadap orang non-muslim
terkadang membuat fitrah kemanusiaan seorang muslim berjalan tidak pada
tempatnya. Bisa saja tiba-tiba seorang muslim menyukai orang Non-Muslim dengan
mengebu-ngebu. Disinilah kaidah-kaidah yang telah ditetapkan berpungsi sebagai
pengerem agar fitrah kemanusiaan tidak merusak keimanan yang sangat dijaga oleh
Islam.
b. Penyaluran
Fitrah Manusia dengan Sebenar-benarnya.
Islam
adalah agama yang realistis sehingga sangat menyadari gejolak hati umatnya.
Fitrah kemanusiaan untuk menyukai dan disukai adalah rahmat Allah agar
seseorang dapat melanjutkan tugas sebagai khalifah dibumi dengan melestarikan
jenisnya. Dengan rahmat itu pula, Allah memberikan rasa aman dan nyaman kepada
pasangan yang sedang “mabuk asmara”
sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21 :
Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah takkala Allah menciptakan dari diri
kalian sendiri istri-istri, agar kalian merasa tentram kepadanya dan
dijadikan-Nya rasa cinta dan kasih diantara kalian.
Dan
jalan untuk menyalurkan gejolak kemanusiaan itu adalah dengan menikah. Meskipun
demikian, bukan berarti atas nama fitrah kemanusiaan kemudian seorang muslim
seenaknya menikah dengan siapapun yang dia kehendaki tanpa memperdulikan aturan
agamanya.
Seorang
muslim terikat dengan aturan agamanya yang tidak membolehkan menikah dengan
non-muslim. Entah itu dari komunitas Yahudi, Nasrani atau bahkan sama sekali
tidak mengakui adanya Allah (Atheis). Keimanan dan
tauhid tetaplah harus dijadikan sebagai patokan utama. Pernikahan harus
dibangun atas dasar keimanan kepada Allah. Dengan demikian, fitrah kemanusiaan
berupa cinta, kasih sayang dan hasrat sexsual, bisa tersalurkan dengan sehat,
dibenarkan dan tidak mendapat murka Allah Swt.
c. Muslim
dan Kafir Bagaikan Siang dengan Malam.
Orang
non-muslim (yang oleh islam disebut orang kafir) itu sendiri memiliki
tingkatan-tingkatan, tergantung seberapa berat dia mengingkari ke-Esaan Allah
dan penentangannya terhadap aturan Islam. Salah satunya yang kita sebut sebagai
kafir mutlak (kafir asli). Yang disebut sebagai
kafir asli adalah mereka yang sama sekali tidak percaya adanya Allah dan
kehidupan di akhirat. Sedangkan yang masuk dalam kategori kafir mutlak
adalah orang-orang yang memiliki paham komunis, atheis, sosialis dan
kepercayaan yang tidak mengakui adanya Allah.
Kenapa Islam dengan tegas-tegas melarang orang muslim menikah
dengan mereka yang masuk kategori sebagai kafir asli ? Karena, Orang-orang
kafir mempunyai perbedaan frinsip yang sangat mendasar. Yakni perbedaan Akidah.
Perbedaan akidah ini membuat Muslim dan Kafir diumpamakan bagaikan Langit dan
Bumi atau bagaikan Siang dan Malam, yang tidak akan pernah bertemu dalam satu
wadah.
Maka pelarangan melakukan pernikahan dengan merekapun, tak jauh-jauh persoalan
perbedaan akidah yang sangat jauh itu. Karena akidah Islam merupakan dasar keimanan seorang
muslim. Manusia baru dapat dikatakan seorang muslim ketika dia mengganti
dasar akidahnya dengan akidah Islam, dan akidah merupakan jiwa bagi seorang
muslim.
Perlu
diketahui akidah yang benar dalam Islam dibangun dengan lima dasar yakni syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji.
Lima dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Bila salah satunya tidak
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka kelurusan akidahnya diragukan. Lima
dasar yang akan menentukan akhir hidup seseorang. Dari lima dasar itu seseorang
bisa disebut sebagai seorang muslim.
Akidah
Islam merupakan landasan seorang muslim dalam melaksanakan seluruh aktifitasnya
baik yang berhubungan dengan keduniawian maupun menyangkut urusan akhiratnya.
Termasuk didalamnya urusan pernikahan. Pernikahan bukan saja masalah
menyalurkan hasrat biologis dengan cara halal, namun merupakan bagian dari usaha
untuk membentuk masyarakat islami. Dari pernikahan
yang barokah akan lahir keturunan yang akan mengagungkan kalimat tauhid dimuka
bumi. Keturunan yang barokah itu pula yang akan meneruskan eksistensi
keberadaan Islam yang Rahmatan Lill Alamin, Syamil (Menyeluruh).
Bukankah sejarah islam ditulis oleh mereka yang dilahirkan dan dibesarkan
dengan pendidikan yang Islami berdasarkan keimanan yang kokoh.
d. Laknat
Allah terhadap Pernikahan dengan Orang Kafir
Sesuatu yang tak disukai, pasti mendatangkan mudharat/murka.
Demikian pula Allah. Sesuatu yang tidak disukainya pasti akan mendatangkan
murkanya bahkan laknatnya.
Laknat
Allah juga akan ditimpakan kepada seseorang yang melanggar larangannya, dengan
menikahi lawan jenis dari golongan non-muslim. Seorang muslim, laki-laki maupun
perempuan, diharamkan untuk menikah dengan orang non-muslim yang masuk kategori
kafir mutlak. Pelarangan tersebut berkaitan dengan perbedaan akidah yang tajam
antara orang muslim dan orang kafir mutlak. Persoalan
akidah bukanlah perkara mudah dan sederhana. Ini adalah masalah
pundamental bagi kehidupan seorang muslim. Dari sana segala kesadaran bermuara.
Memilih jalan kebaikan yang penuh barokah dan ridha Allah ataukah jalan
kesesatan yang nyata dengan mengingkari keberadaan Allah. Setiap tindakan dan gerak hati seorang manusia akan
mengarahkannya kepada dua pilihan sulit. Membingkai dengan bau semerbak surga
ataukah busuknya neraka jahannam. Seseorang harus memilih salah satunya dan
tidak ada pilihan lain.
Orang yang hendak menerjang larangan Allah dengan melakukan
pernikahan dengan orang-orang kafir, mereka diumpamakan bagaikan orang yang hendak memadukan siang dan malam,
apabila seorang muslim tetap menghendaki menikah dengan orang kafir mutlak.
Sampai hari kiamatpun, siang dan malam tidak akan pernah bertemu. Keinginan
mempertemukan siang dan malam adalah perbuatan sia-sia yang melelahkan. Bagaimana
mungkin seseorang yang meng-imani
ke-Esaan Allah, mengakui kerasulan Nabi Muhammad Saw, percaya kepada hari
akhir, malaikat Allah dan kitab-Nya dapat seiring sejalan dengan orang yang
secara jelas dan terang-terangan tidak mengakui keimanan kepada Allah bahkan mereka
justru mengajak orang lain turut dalam keyakinan mereka. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221 : “mereka
mengajak kalian keneraka, sedangkan Allah mengajak kalian kesurga dan
ampunannya dengan izinnya.”
Kalaupun
telah terjadi pernikahan antara orang Islam dengan orang kafir mutlak, maka
wajib hukumnya untuk membatalkan pernikahan tersebut setelah terjadinya
pernikahan tersebut. Tahu atau tidak mengetahui sebelumnya. Suka atau tidak dan
masih mencintai pasangannya. Keimanan kepada Allah lebih tinggi kedudukannya
dibandingkan dengan cinta kepada mahluknya. Allah pun telah memerintahkan hal
ini dengan tegas.
“dan janganlah kamu teruskan ikatan
pernikahan dengan orang-orang kafir” (Qs. Al-Mumtahanah:10)
Dasar pemaksaan ini adalah karena pernikahan yang diikat berdasarkan perbedaan keyakinan
akan memunculkan kompromi-kompromi. Sebuah dasar pemakluman-pemakluman
yang merusak dasar akidah seorang muslim. Hal ini terjadi karena kompromi itu sesungguhnya merupakan proses adaftasi
karena adanya perbedaan yang tajam antara orang Islam dengan orang kafir yang
memiliki perbedaan dalam agama, pemikiran, kebudayaan, cara hidup juga
peradaban. Kaidah cintapun membenarkan hal ini. Bila seseorang mencintai maka
orang itu akan berusaha sekuat tenaga untuk menyenangkan hati pasangannya
dengan menyamakan diri dalam sipat dan tindakan yang menjadi pasangannya.
Perbedaan yang seperti ini jelas merugikan Islam dan perbedaan ini tidak
mungkin bersatu sampai kiamat sebab landasan perbedaan tersebut sangat mendasar
yakni masalah ketuhanan.
Seseorang yang
melaksanakan pernikahan dengan orang kafir mutlak sesungguhnya telah meletakkan
keimanannya ditempat yang rendah. Mereka dengan alasan
yang naïf dan dibuat-buat telah merendahkan keagungan Islam. Orang seperti ini
patut diragukan keIslamannya karena rela menukar keimanannya dengan sesuatu
yang tidak kekal.
Seorang muslim
yang benar-benar ingin menjaga kemurnian akidahnya tentu tidak akan menikah
dengan orang kafir. Tidak mungkin pula baginya untuk dapat
memperoleh perisai cinta dan kasih sayang yang merupakan inti pernikahan bila
perbedaan yang terjadi sangat prinsipil. Bila tetap dilakukan, pernikahan itu
hakikatnya hanyalah hubungan badaniyah semata. Sementara pernikahan yang
semata-mata hubungan badaniyah saja lebih banyak kejelekkannya dari pada
kebaikan yang diperoleh.
Bagaimanapun
cinta itu sudah mengakar pada hati seseorang. Bagaimanapun kesukaan yang halal
itu nyaris membutakan hati. Dan bagaimanapun godaan duniawi membuat pikiran
kebat-kebit, orang muslim tetap tidak boleh menikah
dengan orang kafir asli karena itu berarti menukar keimanannya dengan dunia
yang sedikit. Akidahnya sedikit demi sedikit akan terkikis berganti
dengan akidah yang menentang Islam. Bila ini terjadi, muslim tersebut telah
mengundang murka Allah. Pernikahan yang semula menjadi sarana untuk semakin
dekat dengan Allah berubah menjadi sebuah alat untuk melegalkan hubungan suami
istri. Pernikahan yang diharapkan Islam adalah
pernikahan yang darinya lahir generasi yang mengagungkan Islam malah
menghancurkan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar