Selasa, 04 Juni 2013

Laknat Allah Muslim Menikah dengan Kafir.


 

Laknat Allah Muslim Menikah dengan Kafir.

Pernikahan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Seorang laki-laki dan perempuan yang menginginkan kehidupan normal, sehat dan menginginkan lahirnya keturunan mereka, tidak akan mampu menghindar dari lingkaran pernikahan. Bahkan, mau tidak mau, mereka wajib menikah. Namun, seorang muslim hendaknya berhati-hati agar tidak terjerumus dalam pernikahan yang Allah tidak menyukai nya, bahkan melaknatinya. Yakni pernikahan yang hanya didasari oleh rasa cinta sesama manusia, yang tentu saja tidak murni lagi. Yakni cinta yang telah banyak terkontaminasi dengan nafsu.
a.       Prinsip Pernikahan dalam Islam.
Islam memang agama yang sempurna. Dalam salah satu syariatnya, diatur prinsip-prinsip pernikahan yang jelas bagi umatnya, agar pelaksanaannya nanti tidak  membawa madlarat, tetapi menuai hikmah yang melimpah. Dengan menikah, sepasang suami istri bisa merencanakan corak atau warna rumah tangga  yang meraka bina. Apa yang terjadi dalam sebuah rumah tangga, baik kejadian kecil maupun kejadian besar, yang positip maupun yang negative, akan sangat berpengaruh dalam perkembangan mental spiritual anak-anaknya.
Tidak dipungkiri bahwa dari masa Anak-anak sampai menjadi dewasa, pola pikir seorang anak sedikit banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi keluarganya. Dengan demikian, langsung maupun tidak pernikahan memiliki pengaruh. Demikian pula dengan pendidikan anak-anak, yang sering kali dipengaruhi oleh hubungan antara kedua orang tuanya.
Pernikahan dalam islam dibuat dalam prinsip-prinsip yang jelas, menyeluruh dan sempurna sehingga dapat dikatakan sebagai hukum pernikahan yang terbaik didunia. Prinsip-prinsip yang sehat itu mencakup pembagian tugs yang adil antara seorang suami dan seorang istri. Kejelasan merupakan syarat untuk memberikan ketenangan hati bagi yang menikah dan memberikan jaminan masa depan bagi keturunan yang dihasilkan baik secara hukum keduniawian dan secara sosial kemasyarakatan. Keseluruhan proses pernikahan tidak saja mengatur hal-hal yang sederhana seperti menata hati ketika hendak menikah namun menjangkau jauh setelah pernikahan terjadi itu menjadi bagian ari membangun generasi muslim. Kesempurnaan pernikahan seseorang adalah ketika pernikahannya memberikan kebaikan tidak saja kepada diri dan keluarganya saja namun untuk enerasi setelahnya.
Demi mewujudkan prinsip-prinsip yang sehat, menyeluruh dan sempurna tersebut, Islam memiliki batasan-batasan yang ketat, tegas dan mengingat. Batasan itu melahirkan beberapa kaidah yang menjadi pedoman ketika umat Islam hendak melangsungkan pernikahan. Dalam masalah ini, tidak ada hambatan apabila fitrah kemanusiaan sesama muslim sehingga timbul hasrat untuk menjalin ikatan bernama pernikahan. Namun, hubungan muamalah yang diperbolehkan Islam terhadap orang non-muslim terkadang membuat fitrah kemanusiaan seorang muslim berjalan tidak pada tempatnya. Bisa saja tiba-tiba seorang muslim menyukai orang Non-Muslim dengan mengebu-ngebu. Disinilah kaidah-kaidah yang telah ditetapkan berpungsi sebagai pengerem agar fitrah kemanusiaan tidak merusak keimanan yang sangat dijaga oleh Islam.
b.      Penyaluran Fitrah Manusia dengan Sebenar-benarnya.
Islam adalah agama yang realistis sehingga sangat menyadari gejolak hati umatnya. Fitrah kemanusiaan untuk menyukai dan disukai adalah rahmat Allah agar seseorang dapat melanjutkan tugas sebagai khalifah dibumi dengan melestarikan jenisnya. Dengan rahmat itu pula, Allah memberikan rasa aman dan nyaman kepada pasangan yang sedang “mabuk asmara” sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21 :
            Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah takkala Allah menciptakan dari diri kalian sendiri istri-istri, agar kalian merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya rasa cinta dan kasih diantara kalian.
Dan jalan untuk menyalurkan gejolak kemanusiaan itu adalah dengan menikah. Meskipun demikian, bukan berarti atas nama fitrah kemanusiaan kemudian seorang muslim seenaknya menikah dengan siapapun yang dia kehendaki tanpa memperdulikan aturan agamanya.
Seorang muslim terikat dengan aturan agamanya yang tidak membolehkan menikah dengan non-muslim. Entah itu dari komunitas Yahudi, Nasrani atau bahkan sama sekali tidak mengakui adanya Allah (Atheis). Keimanan dan tauhid tetaplah harus dijadikan sebagai patokan utama. Pernikahan harus dibangun atas dasar keimanan kepada Allah. Dengan demikian, fitrah kemanusiaan berupa cinta, kasih sayang dan hasrat sexsual, bisa tersalurkan dengan sehat, dibenarkan dan tidak mendapat murka Allah Swt.
c.       Muslim dan Kafir Bagaikan Siang dengan Malam.
Orang non-muslim (yang oleh islam disebut orang kafir) itu sendiri memiliki tingkatan-tingkatan, tergantung seberapa berat dia mengingkari ke-Esaan Allah dan penentangannya terhadap aturan Islam. Salah satunya yang kita sebut sebagai kafir mutlak (kafir asli). Yang disebut sebagai kafir asli adalah mereka yang sama sekali tidak percaya adanya Allah dan kehidupan di akhirat. Sedangkan yang masuk dalam kategori kafir mutlak adalah orang-orang yang memiliki paham komunis, atheis, sosialis dan kepercayaan yang tidak mengakui adanya Allah.
Kenapa Islam dengan tegas-tegas melarang orang muslim menikah dengan mereka yang masuk kategori sebagai kafir asli ? Karena, Orang-orang kafir mempunyai perbedaan frinsip yang sangat mendasar. Yakni perbedaan Akidah. Perbedaan akidah ini membuat Muslim dan Kafir diumpamakan bagaikan Langit dan Bumi atau bagaikan Siang dan Malam, yang tidak akan pernah bertemu dalam satu wadah. Maka pelarangan melakukan pernikahan dengan merekapun, tak jauh-jauh persoalan perbedaan  akidah yang sangat jauh itu. Karena akidah Islam merupakan dasar keimanan seorang muslim. Manusia baru dapat dikatakan seorang muslim ketika dia mengganti dasar akidahnya dengan akidah Islam, dan akidah merupakan jiwa bagi seorang muslim.
Perlu diketahui akidah yang benar dalam Islam dibangun dengan lima dasar yakni syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Lima dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Bila salah satunya tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka kelurusan akidahnya diragukan. Lima dasar yang akan menentukan akhir hidup seseorang. Dari lima dasar itu seseorang bisa disebut sebagai seorang muslim.
Akidah Islam merupakan landasan seorang muslim dalam melaksanakan seluruh aktifitasnya baik yang berhubungan dengan keduniawian maupun menyangkut urusan akhiratnya. Termasuk didalamnya urusan pernikahan. Pernikahan bukan saja masalah menyalurkan hasrat biologis dengan cara halal, namun merupakan bagian dari usaha untuk membentuk masyarakat islami. Dari pernikahan yang barokah akan lahir keturunan yang akan mengagungkan kalimat tauhid dimuka bumi. Keturunan yang barokah itu pula yang akan meneruskan eksistensi keberadaan Islam yang Rahmatan Lill Alamin, Syamil (Menyeluruh). Bukankah sejarah islam ditulis oleh mereka yang dilahirkan dan dibesarkan dengan pendidikan yang Islami berdasarkan keimanan yang kokoh.
d.      Laknat Allah terhadap Pernikahan dengan Orang Kafir
Sesuatu yang tak disukai, pasti mendatangkan mudharat/murka. Demikian pula Allah. Sesuatu yang tidak disukainya pasti akan mendatangkan murkanya bahkan laknatnya.
Laknat Allah juga akan ditimpakan kepada seseorang yang melanggar larangannya, dengan menikahi lawan jenis dari golongan non-muslim. Seorang muslim, laki-laki maupun perempuan, diharamkan untuk menikah dengan orang non-muslim yang masuk kategori kafir mutlak. Pelarangan tersebut berkaitan dengan perbedaan akidah yang tajam antara orang muslim dan orang kafir mutlak. Persoalan akidah bukanlah perkara mudah dan sederhana. Ini adalah masalah pundamental bagi kehidupan seorang muslim. Dari sana segala kesadaran bermuara. Memilih jalan kebaikan yang penuh barokah dan ridha Allah ataukah jalan kesesatan yang nyata dengan mengingkari keberadaan Allah. Setiap tindakan dan gerak hati seorang manusia akan mengarahkannya kepada dua pilihan sulit. Membingkai dengan bau semerbak surga ataukah busuknya neraka jahannam. Seseorang harus memilih salah satunya dan tidak ada pilihan lain.
Orang yang hendak menerjang larangan Allah dengan melakukan pernikahan dengan orang-orang kafir, mereka diumpamakan bagaikan orang yang hendak memadukan siang dan malam, apabila seorang muslim tetap menghendaki menikah dengan orang kafir mutlak. Sampai hari kiamatpun, siang dan malam tidak akan pernah bertemu. Keinginan mempertemukan siang dan malam adalah perbuatan sia-sia yang melelahkan. Bagaimana  mungkin seseorang yang meng-imani ke-Esaan Allah, mengakui kerasulan Nabi Muhammad Saw, percaya kepada hari akhir, malaikat Allah dan kitab-Nya dapat seiring sejalan dengan orang yang secara jelas dan terang-terangan tidak mengakui keimanan kepada Allah bahkan mereka justru mengajak orang lain turut dalam keyakinan mereka. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221 : “mereka mengajak kalian keneraka, sedangkan Allah mengajak kalian kesurga dan ampunannya dengan izinnya.”
Kalaupun telah terjadi pernikahan antara orang Islam dengan orang kafir mutlak, maka wajib hukumnya untuk membatalkan pernikahan tersebut setelah terjadinya pernikahan tersebut. Tahu atau tidak mengetahui sebelumnya. Suka atau tidak dan masih mencintai pasangannya. Keimanan kepada Allah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan cinta kepada mahluknya. Allah pun telah memerintahkan hal ini dengan tegas.
“dan janganlah kamu teruskan ikatan pernikahan dengan orang-orang kafir” (Qs. Al-Mumtahanah:10)
Dasar  pemaksaan ini adalah karena pernikahan yang diikat berdasarkan perbedaan keyakinan akan memunculkan kompromi-kompromi. Sebuah dasar pemakluman-pemakluman yang merusak dasar akidah seorang muslim. Hal ini terjadi karena kompromi itu sesungguhnya merupakan proses adaftasi karena adanya perbedaan yang tajam antara orang Islam dengan orang kafir yang memiliki perbedaan dalam agama, pemikiran, kebudayaan, cara hidup juga peradaban. Kaidah cintapun membenarkan hal ini. Bila seseorang mencintai maka orang itu akan berusaha sekuat tenaga untuk menyenangkan hati pasangannya dengan menyamakan diri dalam sipat dan tindakan yang menjadi pasangannya. Perbedaan yang seperti ini jelas merugikan Islam dan perbedaan ini tidak mungkin bersatu sampai kiamat sebab landasan perbedaan tersebut sangat mendasar yakni masalah ketuhanan.
            Seseorang yang melaksanakan pernikahan dengan orang kafir mutlak sesungguhnya telah meletakkan keimanannya ditempat yang rendah. Mereka dengan alasan yang naïf dan dibuat-buat telah merendahkan keagungan Islam. Orang seperti ini patut diragukan keIslamannya karena rela menukar keimanannya dengan sesuatu yang tidak kekal.
            Seorang muslim yang benar-benar ingin menjaga kemurnian akidahnya tentu tidak akan menikah dengan orang kafir. Tidak mungkin pula baginya untuk dapat memperoleh perisai cinta dan kasih sayang yang merupakan inti pernikahan bila perbedaan yang terjadi sangat prinsipil. Bila tetap dilakukan, pernikahan itu hakikatnya hanyalah hubungan badaniyah semata. Sementara pernikahan yang semata-mata hubungan badaniyah saja lebih banyak kejelekkannya dari pada kebaikan yang diperoleh.
Bagaimanapun cinta itu sudah mengakar pada hati seseorang. Bagaimanapun kesukaan yang halal itu nyaris membutakan hati. Dan bagaimanapun godaan duniawi membuat pikiran kebat-kebit, orang muslim tetap tidak boleh menikah dengan orang kafir asli karena itu berarti menukar keimanannya dengan dunia yang sedikit. Akidahnya sedikit demi sedikit akan terkikis berganti dengan akidah yang menentang Islam. Bila ini terjadi, muslim tersebut telah mengundang murka Allah. Pernikahan yang semula menjadi sarana untuk semakin dekat dengan Allah berubah menjadi sebuah alat untuk melegalkan hubungan suami istri. Pernikahan yang diharapkan Islam adalah pernikahan yang darinya lahir generasi yang mengagungkan Islam malah menghancurkan Islam.

---Pernikahan Terlaknat---
Khudzaifah Al Jarjani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar