Selasa, 13 Agustus 2013

Rembulan Ini Untukmu, Sayang

Rembulan Ini Untukmu, Sayang

(cerpen dari berbagai sumber)


Adisty Adelia nama ku, seorang mahasiswi semester 6 jurusan akuntansi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Beberapa tahun ini aku sedang dekat dengan seorang pria yang sangat aku cintai, Ahmad Qasam Amrul Haq namanya. Mahasiswa tingkat akhir jurusan sastra arab di kampus Negeri Perguruan tinggi Jakarta pula.

Kedekatan kami bukan dalam hubungan pacaran, emmm ta'aruf pun bukan. Namun aku tau, kami memiliki hubungan yang tak biasa. Tak sekedar teman ataupun rekanan mahasiswa. Entahlah, mungkin bisa dikatakan hubungan tanpa status. Yang aku tau, aku menyukainya dan ia pun sama, ya kurasa Ia menyukaiku.

Mulanya, kami tak sengaja bertemu di sebuah seminar umum yang mengkaji mengenai Belajar Sastra dan Bahasa arab Alqur'an di salah satu perguruan tinggi ilmu qur'an ternama di Jakarta. Meski aku bukan mahasiswi yang bergelut didunia sastra, namun aku selalu tertarik untuk belajar dan mengkajinya. Bagiku, ini adalah suatu hal yang sangat menyenangkan. Aku selalu kagum dengan semua orang yang bergelut didunia ini. Menurutku mereka keren!. Karna aku tau, bukan suatu hal yang mudah untuk menguasainya, sastra arab. Pikirku, aku ingin menjadi bagian diantara orang-orang keren itu. hihiiiiii.

Saat berlangsungnya seminar itu aku sangat menikmati kajian materinya, sangat bagus dan berbobot. Sampai pada saat dimulainya sesi tanya jawab, seorang mahasiswa berkacamata melontarkan sebuah pertanyaan dengan lugas. "Degggggggh..." tiba-tiba saja, entah kenapa seperti ada yang menghujam jantungku. Bukan karna fisiknya atau kacamata yang ia gunakan saat itu, tapi karna lontaran pertanyaan dan tentu saja karna bahasa arab yang ia gunakan adalah bahasa arab urdu yang tak biasa. Sangat keren bagiku. Sampai seusai seminar umum itu aku nekat untuk berkenalan dengannya dengan dalih ingin belajar bahasa arab urdu itu dengannya. Ah itu tak hanya sekedar dalih, namun aku benar-benar ingin menguasainnya. Tentu saja salah satu cara untuk aku bisa menguasainya adalah dengan menjadikan dia sebagai guruku.^^

Dari peristiwa itu, aku dan dia mulai menjadi partner belajar bahasa arab, seminggu sekali kami kami selalu meluangkan waktu itu itu. Dan tak hanya belajar tentang itu, kami juga sering membahas ilmu-ilmu lainnya, ilmu apa saja. Kegiatan ini berlangsung cukup lama, hampir 2 tahun kurasa. Hingga hubungan kami berubah status menjadi hubungan yang tak biasa. Dalam suka-duka, ia lah orang pertama yang ingin aku temui. Dia pun sama, teman-teman kami, bahkan keluarga kami pun sudah saling mengenal. Ya, bisa kupastikan kami memiliki hubungan yang tak biasa.

Pacaran, sempat kata itu menjadi perbincangan hangat dan membahagiakan saat itu untuk kami. Namun, kami tak lakukan itu. Karna baik aku maupun dia sudah sama-sama mengerti tentang keharaman hubungan itu. Lalu hubungan kami?? ya aku tau, bahwa hubungan kami tak bedanya dengan hubungan terlarang itu, hanya status namanya saja lah yang berbeda.

Tapi dapat kami tegaskan, kami tak pernah melakukan hal-hal yang dilakukan orang-orang berpacaran lainnya. Kami tau batasan-batasan dalam bergaul. Kami tak pernah sekalipun berpegang tangan, pertemuan kami pun selalu ditempat-tempat ramai. Entahlah, aku dapat memastikan hal-hal itu kecuali satu hal. Hati kami. Meski kami saling suka, namun kami tetap menjaga rasa. Pikirku saat itu. Kami saling berkata, bahwa saat indah nanti kelak kita akan bersama. Hanya tak sekarang, dan untuk saat itu biarkan hubungan kami berjalan seperti sekarang. Akupun menyutujuinya, karna jujur aku tak sanggup berpisah darinya. Aku telah benar-benar mencintainya.

Lambat laun, hubungan kami semakin manis.. bukan karna kami semakin dekat. Bukan. Sama sekali bukan. Justru karna kami telah berpisah. Ya kami berpisah. Benar-benar berpisah. Dan status hubungan kami pun menjadi jelas. Tanpa status apapun. Aku katakan ini manis, memang bagi kami ini adalah hubungan yang manis. Ah sangat manis sepertinya.^^

Setahun belakangan kemarin sebelum kami berpisah, kami aktif untuk menghadiri seminar-seminar umum diberbagai perguruan tinggi. Tentu saja aku melakukannya bersama dia, Ahmad Qasam orang yang ku cintai. Kecintaan kami terhadap sastra melebar ke ilmu-ilmu lainnya, salah satunya adalah fikih. Entah mengapa sejak kami mengikuti berbagai seminar yang membahas tentang kajian fikih, membuat kami sangat tertarik untuk mengkaji mengenai kajian fikih itu lebih dalam dan dalam lagi. Kami berdua seperti terhipnotis dibuatnya. Mungkin karna dalam kitab fikih menggunakan bahasa arab yang membuat kami lebih bersemangat.

Hingga sampai suatu hari, kami menyadari bahwa ada yang salah dengan hubungan kami. Dalam kitab fikih itu dijelaskan dengan jelas tentang bagaimana seharusnya pria dan wanita yang bukan mahrom berhubungan. Dalil-dalinya pun dengan jelas tertera disana. Saat itu kami diam dan hanya saling menatap. Benar-benar menjadi perenungan panjang buat kami. Hingga tak lama, aku meneteskan air mata. Dalam diam, berjuta pertanyaan berkecamuk didada.

"Salahkah hubungan ini?? lalu apa harus kuakhiri, tapi aku sangat mencintainya... sungguh. Aku harus bagaimana?? tapi bila lanjut, aku tau ini dilarang oleh agama. Hubungan kami.. salah! tapi aku mencin..." Aku tak sanggup melanjutkan lirihan dalam hatiku. Aku semakin terisak. Tangan ku bergemetar. Kepalaku pening. Aku berharap saat itu aku pingsan saja, namun ternyata tidak. Aku ingin bergumam, namun bibirku kelu. Seperti terisolasi ribuan lakban. Lalu tiba-tiba saja,tangan Ahmad orang yg aku cintai hendak menyentuh tanganku namun ia urungkan.

"Kita... sudahi saja semuanya." Ahmad berkata secara tertatih. Tak lugas seperti biasanya. Nampaknya, saat itu ia pun seperti tak rela melepasku. Aku menghela nafas panjang. Ku kuat kan azzamku. Dan aku menyetujuinya.

Saat itu, tak ada kata-kata perpisahan ataupun kata-kata mesra lain yang terucap. Hanya sebuah senyuman dengan air mata terbendung yang terlihat. Dan kami pun berpisah. Entah kenapa, setelah aku memutuskan hubungan ini, aku merasa seperti melepaskan beban berat di pundakku. Sedih. Tentu saja aku sedih. Orang mana yang tidak sedih bila harus berpisah dengan orang yang dicintainya. Meski pedih namun inilah jalan yang harus aku dan dia lalui. Berjalan sesuai syariat-NYA. Itu mutlak harus dilakukan dan tidak ada tawar menawar. Karna itulah yang terbaik untuk kami. Meski hubungan kami bukanlah pacaran, namun kami sadar intensitas pertemuan kami sudah selayaknya insan yang berpacaran.

Setelah kejadian itu, aku mulai belajar serius tentang bidang-bidang ilmu agama lainnya. Aku pun mulai melebarkan kerudungku, melonggarkan pakaianku, dan benar-benar menjaga muruah serta izzahku. Sebenarnya aku sudah berhijab lama sebelum aku mengenal Ahmad Qasam, namun belum sesyar'i saat ini ku rasa. Masih terbawa trendi arus zaman. Dikampus, aku pun mulai mengikuti kajian-kajian islami rutin. Menambah wawasan pikirku.

Delapan bulan berlalu, aku benar-benar merasa menjadi pribadi yang berbeda. Dan Ahmad, aku tidak tau sedikitpun tentangnya. Sempat terbesit untuk menghubunginya, namun aku urungkan. Ya aku paksa urungkan. Biarlah Allaah yang mengatur segalanya. Aku benar-benar berpasrah diri. Bila rindu akannya meraja, aku hanya bisa berdoa pada-NYA di jannah IA pertemukan kami kembali. Pintaku sesederhana itu.

Mengawali awal semester 8, saat itu usiaku 22 tahun. Aku disibukkan oleh segudang kegiatan untuk mempersiapkan skripsi ku. Sampai suatu hari ibu ku tiba-tiba memintaku untuk menikah. Usiaku sudah cukup katanya. Tentu saja aku menolaknya, dengan alasan aku ingin fokus pada skripsiku. Ibu pun memakluminya.

Hari berganti hari, hingga akhirnya usailah masa kuliahku. Aku diwisuda. Beribu ucap syukur yang ada kala itu. "Alhamdulillah.." Ujarku saat itu. Ucapan selamat pun berdatangan kerumahku. Aku benar-benar bersyukur. Hanya saja, tiba-tiba wajah Ahmad melintas dibenakku. Dia tersenyum dan mengucapkan ucapan selamat padaku dengan manisnya. "Astaghfirullaah! Mikir apa aku ini." Aku beristighfar dan menepis angan-angan kosong itu.

Kini aku bekerja di salah satu lembaga zakat indonesia, aku bahagia bekerja disana. Dikelilingi teman-teman sekantor yang seakidah dan yang terpenting waktu sholat kami di berikan waktu yang cukup lama, jadi kami tidak tergesa-gesa. Berbeda jika aku bekerja dikantoran.

Ditempat ini, aku memiliki sahabat karib. Kami memang baru beberapa minggu saja bertemu, namun kami telah akrab. Namanya Hafla Naura Salsabila. Namun, aku biasa memanggilnya dengan Bulan. Panggilan kesayanganku untuknya. Aku memanggilnya bulan karna dia selalu melakukan banyak aktivitas di malam hari, mulai dari bertahajud, menghafal, membaca alqur'an, bahkan hampir setiap malam dia mendengar semua keluh kesahku. Ya, kami sekamar, semenjak bekerja aku memutuskan untuk mencari kontrakan. Agar mandiri tekadku.

Hafla, dia benar-benar seperti rembulan buatku. Hadir dimalam hari dan menerangiku dengan ilmu-ilmu dinnya. Karnanya, aku pun menjadi seperti bulan juga. Ah tidak, mungkin aku hanya menjadi bintangnya saja, yang selalu mengiri keindahan bulan dimalam hari. Aku benar-benar menyanginya. Alhamdulillaah.

Tahun ini, aku mendapat kabar kejutan dari orangtuaku. Aku diajak ta'aruf. Aku ingin menolaknya, namun aku tak kuasa. Bapak bilang ia adalah seorang yang berpendidikan dan yang terpenting dia sholih, insyaallaah. Mendengar kata sholih, akhwat mana yang tak bergembira. Aku pun sama, bergembira. Bersyukur. Awalnya aku sempat ragu, namun setelah istikharah. Akupun mantap untuk menyetujuinya.

Hari untuk nadzar kami pun telah ditentukan. Sabtu ini dirumah kami, entah karna aku begitu bodohnya atau apa, aku sampai lupa menanyakan nama dari pria tersebut. Mungkin karna aku begitu bahagia mendengar kata sholih. hihihi.^^

Hari nadzor pun tiba, aku menggunakan kerududung dan gamis hijau. Aku berharap berpenampilan cantik tentu saja. Tak lama aku pun dipanggil keluar kamar. Sambil berjalan aku melihat pria bersahaja duduk.

"Ah..mad?" Aku terkejut. "Na'am, ana Ahmad Qasam Amrul Haq." Ahmad menjawab dengan lugas disertai senyum manis diwajah teduhnya.

"Subhanallaah..." Aku terkejut, langsung saja ku peluk ibu ku karna bahagianya. Dia, yang duduk disana.. calon suamiku nampak sangat berbeda. Celananya berbeda, tak isybal. Alhamdulillaah. Wajahnya pun berbeda, dia tampak teduh sekarang dengan janggut tipis di dagunya. Alhamdulillaah. Dia lebih alim, arif, dan berilmu. Alhamdulillaah.

Hari walimah kami telah ditentukan, 2 minggu setelah pertemuan nadzor ini. Seminggu sebelum hari walimahku, aku menyempatkan diri untuk ke kontrakan ku untuk mengambil barang-barangku, dan tentu saja untuk bertemu dengan Hafla. Bulanku tercinta. Aku kesana untuk mengantarkan undangan special, harus datang paksa ku saat itu. Saat itu memang sedikit gelap;mendung. Namun tak sampai hujan. Dijalan, entah apa yang ku rasa. Sepertinya aku merasa pusing. Mungkin karna aku terlalu lelah menyiapkan walimahku.

Tepat pukul 13.00 aku sampai di sebrang kontrakanku, ketika aku hendak melangkah tiba-tiba aku merasa pusing. Aku berjalan perlahan, tapi tiba-tiba saja tubuhku tertabrak sesuatu. Lalu gelap. Sesadarnya, aku berada dirumah sakit.

Kepalaku sakit. Ibu menangis, Bapak juga. Aku tak mengerti. Ahmad. Ah ya, dia juga ada diruangan ini. Ahmad Qassam, calon suami tercintaku. Dia menangis juga. Ada apa. Kenapa semua menangis. Aku tak mengerti. Mulutku kelu. Kata ibu, sudah 3 hari aku koma. Saat itu aku tertabrak mobil dengan kecepatan tinggi.

4 Hari sebelum pernikahanku, aku masih berbaring dirumah sakit. Kaki ku patah. Entah apa yang akan terjadi pada walimahku, dalam 4 hari tak mungkinkan aku bisa sembuh total. Aku hanya pasrah.

Sore itu, Ahmad datang menjenguk. Nampak wajah khawatir di guratan senyumnya. Aku katakan aku baik-baik saja, dan dia pun hanya mengangguk. Mungkin dia tau bahwa aku sedang berbohong.

"walimah kita bagaimana?" tanya ku penuh tanya. "Akan ditunda sampai kau benar-benar sehat." jawabnya lugas. Aku bahagia meski sungkan. Aku meminta maaf, sungguh karna ku semua jadi tertunda. Dia hanya tersenyum. Manis.

Tiba-tiba ada yang datang mengetuk pintu. Hafla, dia pun meminta izin untuk masuk. Dan aku pun mempersilakannya. Hafla berlari kearahku sambil menangis. Aku hanya tertawa. Aku katakan aku baik-baik saja. Lalu ku kenal kan ia pada Ahmad, calon suamiku. "Bulan, ini Ahmad calon suamiku. Dan Ahmad, ini Bulan eh Hafla teman karibku." Ucapku memperkenalkan mereka berdua. Mereka hanya tersenyum. Aneh pikirku. Dan saat itu juga, Ahmad pamit.

Entah kenapa, saat itu aku melihat bulan tercinta ku murung. Apa karna aku yang sedang sakit? Aku rasa tidak. Tapi lalu aku abaikan. Karna mungkin hanya praduga ku saja. Tak lama, Hafla mendapat telfon lalu pamit dengan buru-buru. Tas laptop nya tertinggal. Aku memanggilnya namun ia tak mendengar.

Karna berhari-hari dirumah sakit, dan merasa jenuh. Aku memutuskan untuk meminjam laptop Bulan ku. Aku biasa bertukar laptop sewaktu dikontrakan dulu. Jadi tidak apa-apa ku pikir untuk menggunakannya. Aku membukanya, namun aku menemukan sebuah blog yang belum di log-out. Aku membacanya. Aku pikir ini adalah karya tulisnya yang sedang ia persiapkan untuk salah satu majalah islami. Hafla adalah penulis lepas. Aku mulai membacanya. Ternyata aku salah. Ini adalah curahan hatinya. Aku tau, tak seharusnya ku baca ini. Namun aku bosan, jadi aku tetap membacanya.

Aku kagum dengan tulisan-tulisanya. Menarik. Tapi... tiba-tiba aku shock ketika menemukan note 8 bulan yang lalu. Bukan karna tulisannya yang mengagumkan. Namun karna aku temukan nama Ahmad Qasam disana. Aku membaca goretan noktahnya dengan hati luka tersayat. Mereka.. ternyata mereka telah saling kenal. Bukan hanya itu. Di masa silam, mereka pernah berta'aruf dan hampir menikah pula. Namun karna orang tua Hafla ditahun itu telah mendaftar umrah, mereka pun memutuskan untuk menundanya. Hafla terus menanti hari dimana mereka berdua akan bersatu. Sampai tiba-tiba saja Ahmad dipindah tugas kan ke luar kota lalu menghilang tanpa kabar. Tapi Hafla tetap menunggunya, karna ia yakin Ahmad akan kembali, dan karna.. Aku menangis membacanya, karna Hafla terlanjur mencintainya.

Seketika aku menutup laptopnya, dan lagi-lagi aku merasa gelap. Aku pingsan lagi. Kata ibuku saat itu. Ketika sadar, aku langsung menggenggam tangan ibuku. Lalu aku mengambil keputusan terberat dan memilukan untuk ku. Aku memutuskan untuk memutuskan hubungan ku dengan Ahmad, aku sama sekali tak menceritakan kejadian sebenarnya pada ibu ku. Aku tak ingin melihatnya kecewa. Aku juga tak ingin untuk yang kedua kalinya berpisah dengan Ahmad, namun aku pun tak kuasa melukai hati karibku, Bulan. Dia terlalu baik untuk disakiti. Aku memaksa diriku ikhlas.

2 hari lagi hari walimah kami, pagi itu aku mengajak Ahmad bicara empat mata serius. Aku menuntut cerita darinya. Cerita tentang ia dan Hafla. Awalnya ia tak mengakui hubungan nya dengan Hafla, karna memang ia tak ingin melukai hatiku. Katanya, antara Hafla dan dirinya sudah tak memiliki hubungan apa-apa lagi. Ta'aruf mereka telah lama usai, sampai sekarang dia menemukan kabar tentangku. Katanya, ia masih menyukaiku hingga sekarang. Namun tetap saja, aku tak ingin Hafla menangis terluka. Saat itu aku bingung. Aku memaksanya untuk memutuskan hubungan ini. Namun ia menolak. Saat itu juga Hafla datang, ia bingung mengapa aku menangis sedemikian rupa.

Aku mengajaknya duduk bersama kami. Sebelum aku bicara lanjut, aku meminta maaf padanya karna telah lancang membuka laptop serta menbaca curahan hatinya. Lalu aku ceritakan semua benakku padanya, tentang rasa bersalahku padanya, tentang kebingunganku, tentang semuanya. Seketika Hafla menangis, ia memohon agar aku tak membatalkan pernikahan yang tinggal 2 hari itu. Aku katakan padanya, aku tak mungkin menikah dengan keadaan kaki ku masih patah seperti ini. Lalu aku meminta Hafla untuk menggantikanku. Entah ungkapan bodoh apa itu. Itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku menangis tersedu. Aku tak tau harus berbuat apa. Bila aku bisa berlari, ingin aku berlari ke manapun aku bisa. Namun aku tak bisa. Aku meninggalkan mereka berdua untuk bicara. Aku tak tau harus berbuat apa. Apapun keputusan mereka. Aku akan menerimanya.

Tak lama mereka berdua menemuiku, mereka telah memutuskan agar aku melanjutkan pernikahanku, bahkan pernikahannya pun diurungkan untuk ditunda. Pernikahan akan tetap dilaksanakan apapun keadaan ku. Aku pun menerimanya meski dengan hati tersayat. Namun aku tak peduli, aku berusaha untuk mengapatiskan diri, aku telah memberikan pilihan untuk mereka sebelumnya. Dan mereka pun telah memilihnya. Mereka harus menerima apapun konsekuensnya, pikirku.

Pernikahan kami pun berlangsung sederhana, dengan kaki ku masih ter-gif. Aku melihat Hafla hadir dipernikahanku, ia cukup tegar rupanya. Mungkin aku tak akan hadir bila menjadi dia. Aku takan sanggup melihat orang yang ku cintai bersanding dengan wanita yang lain. Namun bukan Hafla jika bersikap demikian, tegasku.

Dimalam pernikahan kami, aku banyak mendengarkan cerita darinya. Aku pun menceritakan banyak hal padanya. Kami terus saja tertawa bahagia malam itu. Saat itu mungkin aku merasa menjadi wanita paling kejam sedunia. Karna aku bahagia diatas penderitaan teman karibku. Namun aku tepiskan itu, karna aku yakin temanku akan jauh menderita bila aku bersedih atasnya.

Saat ini, aku dan Ahmad Qasam telah menjadi pasangan sah. Banyak hal yang bisa kami lakukan bersama dengan leluasa tentunya. Dan meski kami telah menikah, kami masih sering mengikuti seminar-seminar umum diantara kesibukan kami. Itu mengingatkan kami pada masa dahulu. Aku hanya bisa tersenyum.

Di lima bulan pernikahan kami, aku mengandung anak pertama kami. Usianya baru 1 minggu, alhamdulillah keluarga kami bertambah bahagianya. Ahmad suami tercinta ku benar-benar memanjakan ku. Aku berhenti bekerja saat datang kehamilanku ini. Tak boleh terlalu lelah kata Ahmad, dan aku pun menurut. Sampai suatu malam, aku memimpikan Bulan ku. Dia terlihat sangat pucat dan lesu. Keesokannya ketika aku bangun, aku ceritakan hal itu pada suamiku. Aku mulai mengkhwatirkan Hafla. Setelah pernikahan kami, Hafla memutuskan untuk pindah ke luar kota. Namun ia tak katakan kemana. Ahmad bilang itu hanya sebuah mimpi, dan menyuruhku untuk tak khawatir. Namun aku tak bisa. Aku mulai mencari info tentang keberadaan Hafla. Dan aku mendapatkan alamatnya. Saat itu juga, aku dan Ahmad pergi menemuinya.

Benar saja, ternyata keadaan Hafla tidak baik. Ia terlihat pucat sekali. Dan kurus. Aku menangis melihatnya.

"Kau kenapa hafla??" Tanyaku sambil menangis dipeluknya.
"Aku baik-baik saja kok." Jawab Hafla singkat.

Aku tak percaya begitu saja. Aku tanyakan keadaan Hafla pada ibunya. Ibunya mengatakan, bahwa akhir-akhir ini ia berusaha keras melupakan Ahmad dengan melakukan banyak ibadah. Sampai terkadang ia tidak tidur. Aku menangis menangis tersedu mendengarnya.

Malamnya kami pamit pulang. Tak sepatah katapun keluar bibir kami, aku dan suamiku. Sekarang, suamiku yang terlihat khawatir. Aku melihatnya benar-benar mengkhwatirkan Hafla.

Dalam tahajudku malam ini, aku mencurahkan semuanya pada Allah. Hingga aku tertidur pulas di atas sajadahku.

Esok paginya, aku melihat suamiku murung. Aku tanyakan mengapa dan ia katakan tidak ada apa-apa. Aku bingung. Semenjak kami bertemu Hafla, sikapnya berubah dingin padaku. Aku tak ambil pusing awalnya, karna ku fikir mungkin ini hanya sementara. Tapi ternyata perkiraanku salah. Sudah beberapa minggu ia dingin padaku. Aku bertanya padanya, apakah aku melakukan salah kepadanya. Namun ia katakan tak ada. Aku semakin bingung dibuatnya. Aku sedih.

Lalu aku teringat Hafla, apa semua ini karna dia. Apa sekarang Ahmad menyesal menikahiku. Aku mengajak Ahmad bicara serius, tapi kami malah bertengkar. Ahmad bilang ia tak ingin diganggu saat ini. Sampai aku mendengar hal-hal yang tak ingin aku dengar. Ahmad, meminta ku untuk berpisah dengannya. Aku kaget, aku terkejut. Mengapa ia setega itu. Aku tanya apakah ini karna Hafla. Dan ia katakan ya. Aku langsung jatuh pingsan saat itu.

Perutku sakit sekali, ah tidak. Ini tak sesakit hatiku. Ahmad datang dan meminta maaf padaku, ia berjanji takan melakukan hal ini lagi padaku. Ia menangis, ia katakan ia hanya terbawa emosi. Dan tentang Hafla, ia hanya merasa bersalah padanya karna ia menjadi seperti itu karna dia, karna suamiku. Aku tersenyum dan memaafkannya. Mungkin aku akan melakukan hal yang sama jika aku berada diposisinya. Ahmad menggenggam tanganku erat. Kini aku merasakan kehangatannya kembali. Aku hanya bisa menangis bahagia.

Tapi tiba-tiba perut ku sakit lagi. Sakit sekali. Ahmad panik, ia lalu keluar memanggil dokter. Dokter datang dan langsung memeriksaku. Kata dokter aku keguguran. Seketika aku menjerit, aku menangis. Anakku. Dia telah pergi. Aku sedih, namun Ahmad lebih sedih. Katanya semua ini katanya. Aku semakin sedih dibuatnya. Aku katakan tak apa. Karna semua ini milik-NYA. Aku mencoba tegar.

Satu minggu kemudian aku keluar dari rumah sakit. Aku sudah baik-baik saja alhamdulillah. Malamnya aku duduk berdua disudut kamar bersama Ahmad, kami bersenda gurau. Lalu aku bicara serius. Bagaimana kalau Ahmad menikahi Hafla. Ahmad terkejut. Aku katakan bahwa aku serius tak bercanda. Ahmad menolaknya.

Aku terus saja membujuknya. Aku tau ini bukanlah hal yang mudah, dan sangat tak masuk akal ada istri meminta untuk di madu. Aku tau ini akan menyakitkan untukku, namun aku yakin suamiku mampu berlaku adil. Suamiku marah padaku, ia katakan bahwa ia takan pernah melakukan hal semacam itu. Tapi aku tak menyerah. Aku katakan aku mencintainya, akupun yakin bahwa ia pun mencintaiku. Tapi Hafla, aku benar-benar khawatir padanya, aku tak bisa bahagia diatas penderitaanya. Aku pun melihat satu hal dari mata suamiku. Aku melihat Ahmad merindukan hadirnya Hafla.

Malam itu aku terus saja membujuknya, aku katakan bahwa aku menginginkan syurga atas hal ini. Suamiku menangis dan mendekapku erat, lalu ia katakan bahwa ia akan melakukannya. Aku bahagia mendengarnya. Dalam tahajudku, aku menangis, mengadu pada-NYA. Bahwa sungguh hatiku sakit. Meski aku yang meminta perihal ini, namun aku tak kuasa menahan pedihnya. Berbagi suami. Hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Namun aku mencoba ikhlas. Aku bahagia. Ya aku harus bahagia. Ah tidak. Kami bertiga harus bahagia.

Dihari pernikahan mereka, aku hanya mampu menahan haru dari balik tirai. Aku cemburu melihat mereka berdua tersenyum hangat. Air mataku terjatuh. Meski cemburu, namun aku bahagia.

Dimalam pernikahan mereka, aku menyiapkan segala-galanya. Kamar pengantin ku hias sedemikian indahnya. Lalu mereka berdua datang, lantas memelukku. Aku bahagia memiliki kalian, aku katakan padanya. Lalu Ahmad menggenggam erat tanganku dan mengatakan bahwa ia mencintaiku. Aku tersenyum bahagia mendengarnya. Lalu aku bisikan di telinga Ahmad, suami yang aku sangat cintai.. bahwa rembulan ini untukmu, sayang.


Senin, 12 Agustus 2013

Nama-Nama Surga

Nama-Nama Surga
Mereka yang dijamin Masuk Surga
            Kehidupan surga adalah kehidupan sempurna, semuanya serba baik, nyaman, tenteram dan bahagia. Surga adalah tempat kehidupan orang-orang yang saleh. Mereka adalah orang-orang yang yakin bahwa kehidupan didunia adalah sementara, dunia bukan tidak mereka masukkan kedalam hati, mereka mengambil dunia hanya sekedarnya saja guna memperkuat ibadah mereka kepada Allah. Mereka telah menempuh jalan lurus, bersabar atas cobaan yang diberikan Allah, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, mereka mengeluarkan sedekah dari harta mereka, dan berpuasa diterik matahari supaya Allah meringankan panjangnya hari kebangkitan. Mereka telah menjalani kehidupan yang baik diakhirat.
            Penghuni surga adalah orang-orang yang berjiwa kuat. Mereka dapat mengendalikan hawa nafsu, sehingga mereka pun dijamin dengan kehidupan yang bahagia diakhirat. Rasulullah Saw. telah menjamin surga bagi kaum muslimin jika mereka menaati enam perkara. Beliau bersabda, “Jaminan bagiku enam perkara dari dirimu, niscaya kujamin surga bagimu, yaitu berkatalah benar bila kamu berbicara, tunaikan amanat yang dipercayakan kepadamu dan penuhilah jika kamu berjanji, peliharalah kemaluanmu, jagalah matamu dan pejamkanlah matamu (dari berbuat maksiat).”
Secara lebih rinci para calaon penghuni Surga adalah sebagai berikut :
1.      Surga FIRDAUS.
-          Orang-orang yang khusyu ‘dalam mengerjakan shalat’.
-          Orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak ada gunanya.
-          Orang yang membayar zakat tepat pada waktunya.
-          Kuat menjaga kemaluannya dari kemaksiatan.
-          Memelihara amanat diberikannya.
-          Orang yang menepati janji.
-          Dan orang yang memelihara shalatnya.
Hal ini sesuai dengan penegasan Allah swt. Dalam surat Al-Kahfi, ayat 107 :
“sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh bagi mereka adalah surga firdaus menjadi tempat tinggalnya”.
Dijelaskan juga dalam surat Al Kahfi, ayat 108 :
“mereka kekal didalamnya, mereka tidak ingin berpindah darinya”.
2.      Surga ‘AND
Calon Penghuni Surga And, ialah :
-          Orang yang bertaqwa
-          Orang yang banyak melakukan amal kebaikan
-          Orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dengan sebenarnya
-          Orang yang sabar dalammencari ridha Allah seperti ; melakukan shalat, menafkahkan harta bendanya dijalan Allah dan dapat menjauhi diri dari perbuatan buruk.
3.      Surga NA’IIM
Orang-orang yang termasuk, calon penghuni Surga Na’iim, yaitu :
-          Orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dengan sebenar-benarnya.
-          Orang-orang yang bertaqwa dengan sebenar-benarnya ; maksudnya ialah : mengerjakan segala perintahnya dan meninggalkan segala larangan-Nya.
4.      Surga MA’WA
Mereka yang bakal menjadi calon penghuni surga ma’wa, yaitu :
-          Orang yang bertaqwa.
-          Orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dengan sebenar-benarnya.
-          Orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan orang-orang yang dapat menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.
5.      Surga DARUSSALAM
Calon penghuni surge Darussalam ialah mereka yang iman dan keislamannya kuat serta percaya dan mengkui kebenaran ayat-ayat Allah, mereka pun senantiasa mengerjakan amal shaleh hanya semata-mata karena Allah Swt, dalam Surat Al An’am, ayat 126-127 :
“dan inilah jalan Tuhanmu (yakni jalan) yang lurus. ‘sesungguhnya kami (Allah) telah menerangkan ayat-ayat (kami) kepada orang-orang yang memperhatikan. bagi mereka disebabkan amal-amal yang shaleh yang selalu mereka kerjakan”.
6.      Surga DARULMUQAMAH
-          Orang yang amal kebajikannya lebih banyak dari pada amal kejelekannya.
-          Orang yang kuat dan tebal keimanan dan islam mereka.
-          Dan orang-orang yang memperbanyak amal kebaikannya dan menjahui kesalahan serta kemaksiatan.
7.      Surga ALMAQAMULAMIN
Dan menurut penegasan Allah Swt. Dalam Al-Qur’an, bahwa yang menjadi calon penghuni surga Al-Maqamul amin ialah orang-orang yang bertaqwa kepada Allah swt. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. Dalam surah Ad Dukhan, ayat 51 :
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada dalam tempat yang aman (surge)”.
8.      Surga KHULDI
Bagi orang yang menjadi calon penghuni surga Khuldi yaitu orang-orang yang bertaqwa dengan sebenar-benarnya, yakni menjalankan segala perintah Allah dan menjahui segala larangan-Nya.
Hal ini sesuai dengan penegasan Allah swt, dalam surat Al-Furqan, ayat 15 :
“Katakanlah : “Apa (siksa) yang demikian itulah yang baik atau surga yang kekal yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa, yang menjadi balasan dan tempat kembali mereka”.
Wallahu'alam bissawab

Alan Angga Nuari

Trp3__AL1307

Tuhan peluklah dirinya, dalam kehangatan kasih sayangmu, aku titipkan dia padamu sampai batas waktu yang  engkau tetapkan* karena aku bahagia mengenalnya, aku bahagia menyayanginya. Jika ini terbaik maka Ijinkanlah aku dan dia, agar kami bisa bersama dalam ridhamu dalam kasih sayangmu  Amiiinnnn

Selamat malam sayang,  biarkan aku selalu memimpikanmu selalu menyayangimu

Neraka

Neraka
Apakah Neraka Itu ?
            Neraka adalah tempat tinggal penuh kesengsaraan yang berada di akhirat. Di dalamnya penuh dengan kobaran api yang bergejolak dashyat. Demikian dashyatnya hingga api itu mengelupas kepala dan menusuk hati. Bahan bakar neraka adalah manusia dan batu. Neraka diperuntukkan bagi hamba-hamba yang kafir, munafik yang senantiasa berlumur dosa, tidak mau bertobat, hamba yang musyrik dan yang mendustakan ayat-ayat Allah, mereka yang malas dan tidak mau mengerjakan perintah-Nya, mereka yang terus menerus mengerjakan kemaksiatan hingga melampui batas.
            Allah mengancam orang-orang kafir dengan hal-hal itu dan menegaskan orang-orang yang sombong, pembangkang dan durhaka agar mereka meninggalkan segala yang dilarang Allah Swt.
            “Tersebut dalam Surah Al-Baqarah, ayat 39 :
“adapun orang-orang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka itu penghuni api neraka, mereka kekal didalamnya.”
            “Juga terdapat dalam Surat Yunus, ayat 27 :
“dan orang-orang mengerjakan kejahatan-kejahatan mendapat balasan kejahatan yang setimpal dan mereka di tutupi kehinaan. Tiada bagi mereka seorang pun yang melindungi dari (adzab) Allah seakan-akan muka mereka ditutupi dengan sebagian malam yanggelap gulita. Mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.”
“sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (neraka).


Wallahu'alam bissawab
Alan Angga Nuari

Nama-Nama Neraka


Nama-nama Neraka

1       Huthamah, nama ini tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Humazah (104) ayat 4-5.

2     Hawiyah, nama neraka ini tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Qori’ah (101) ayat 9-10.

3      Jahannam, nama neraka ini tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Hijr (15) ayat 43.

4     Jahim, nama neraka ini tercantum dalam Al-Qur’an Surat As-Syu’araa (26) ayat 91.

5      Saqar, nama neraka ini tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Muddatstsir (26) ayat 26-27,42.

6      Sa’ir, nama neraka ini tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ (4) ayat 10; Surat Al-Mulk (67) ayat 5,10,11 dan lain-lain.

7     Walil, nama neraka ini tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Muthaffifin, ayat 1-3.



Wallahu'alam bissawab

Alan Angga Nuari

Pintu-Pintu Neraka

Pintu-Pintu Neraka

Seperti disebutkan dalam Surah Al Hijr, ayat 44 :
“Jahannam itu mempunyai tujuh pintu, tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka.”
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah bertanya kepada Malaikat Jibril as. : “Siapakah orang-orang yang menempati pintu-pintu neraka itu ?”
Malaikat Jibril as menjawab :
Pintu yang paling bawah, didalamnya ditempati oleh orang-orang munafik dan orang-orang kafir. Pintu itu bernama ‘Hawiyah’.

“Pintu kedua namanya ‘Jahim’ yang didalamnya ditempati orang-orang musyrik.

“Pintu ketiga namanya ‘Saqar’ didalamnya ditempati orang-orang penyembah berhala.

“Pintu keempat namanya ‘Ladhaa’ didalamnya ditempati orang-orang majusi dan ditempati iblis dan orang-orang jadi pengikutnya.

“Pintu kelima namanya ‘Huthamah’ didalamnya ditempati orang-orang yahudi.

“Pintu keenam namanya ‘Sa’iir’ didalamnya ditempati orang-orang nasrani.

“Pintu ketujuh ditempati orang-orang yang melakukan dosa besar dari umatmu yang sampai meninggal dunia belum bertaubat.”

Itulah jawaban malaikat Jibril as. Kita sedang hidup dijaman umat Muhammad, maka diantara kita melakukan dosa besar, segeralah bertobat supaya tidak masuk neraka melalui pintu ketujuh.

Wallahu'alam bissawab
Alan Angga Nuari


Minggu, 11 Agustus 2013

Tunggu Aku Di Surga Sayangku***


.. TUNGGU AKU DI PINTU SURGA, SAYANG-KU ...

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Seandainya saja bunuh diri itu halal, saya pasti lakukan dulu sebelum jenazah putra saya satu-satunya dan istri dikuburkan.

Untuk apa lagi saya hidup ketika seluruh keluarga saya yang selama ini menjadi penghibur hati dan harapan saya telah pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.

Ketika saya bertanya pada Pak Haji yang membesarkan hati waktu itu, ia hanya diam saja. Saat histeris dan berteriak-teriak marah pada diri sendiri yang tak bisa mencegah musibah itu, tetap saja tak seorangpun berkata apa tujuan hidup saya berikutnya selain kata-kata membujuk untuk sabar. Sabar? Untuk apa?

Saya seorang suami, menikahi wanita Aceh yang baik hati. Ia tak terlalu cantik, tapi orangnya sangat baik dan benar-benar polos.

Saat menikahinya, gadis Aceh itu masih sangat muda. Umurnya saja baru 17 tahun dan baru tamat SMU. Saya memboyongnya ke Jakarta setelah berhenti bekerja di Aceh.

Sayangnya saat bencana tsunami melanda Meulaboh, seluruh keluarga istri saya menghilang tanpa jejak. Waktu saya dan istri berhasil mencapai kota itu beberapa minggu setelah bencana, tak ada yang tersisa selain lantai keramik rumah yang juga terkelupas sebagian. Istri saya sempat shock hebat. Tapi akhirnya kami bisa melewati masa-masa itu dengan saling menguatkan.

Lama sekali kami baru dikaruniai seorang anak, karena istri saya memiliki kista endometrium. Kami sempat berobat di dokter, tapi harus dioperasi. Istri saya tidak berani menjalani operasi, lalu kami pun pindah ke pengobatan alternatif.

Setelah menjalani pengobatan lebih dari setahun, barulah istri hamil. Tepatnya lima tahun setelah menikah, istri saya melahirkan seorang anak laki-laki. Saya bangga bukan main karena anak itu terlahir dengan ukuran tubuh hampir 4 kg. Hebatnya lagi, istri saya melahirkan normal.

Pekerjaan saya yang baru juga sekarang benar-benar mengangkat ekonomi keluarga kami. Saya bisa membeli rumah dan mobil di tahun yang sama setelah Raihan lahir. Kebanggaan saya makin lengkap ketika Raihan terpilih sebagai pemenang lomba bayi sehat.

Dua tahun berlalu, Raihan tumbuh jadi anak yang aktif. Dia sudah pandai bicara, hanya bisa tidur kalau saya yang menidurkannya. Makanya saya pun membeli rumah dekat kantor, agar tiap siang bisa pulang sebentar untuk mengurus Raihan.

Kata orang-orang, Raihan mirip sekali dengan Bapaknya. Setali tiga uang dalam segala hal. Raihan memang manja sekali sama saya. Kalau hanya bersama Ibunya, dia biasa-biasa saja tapi begitu saya datang, maka penyakit manjanya langsung kambuh. Maunya digendong saja.

Saat itu Raihan suka sekali kalau digelitiki, tertawanya bisa kedengaran sampai ke seluruh kompleks. Saya sering membawanya digendong di pundak sambil berkeliling kompleks dan menyapa para tetangga. Semua orang bilang, duh cakepnya Raihan ini. Raihan memang mewarisi mata Ibunya dan rambut ikal saya yang tebal. Kulitnya putih dan badannya tak terlalu gemuk.

Saya pikir hidup saya sudah sangat sempurna. Istri yang manis, anak yang ganteng dan tambah lengkap lagi ketika istri saya memberitahu kalau ia sudah terlambat haid dua bulan. Waktu itu saya berniat mengajaknya ke dokter untuk periksa. Saya berharap, kali ini dia melahirkan anak perempuan agar melengkapi kebahagiaan saya. Tapi karena di kantor lagi sibuk, saya memintanya pergi sendiri dengan taksi.

Istri saya bilang saat itu, dia maunya saya yang mengantar. Karena itu saya pun mengalah dan berjanji nanti akhir minggu itu kami ke dokter.

Siapa sangka itulah awal malapetaka. Saat tidak ada orang di rumah, istri dan anak saya mengalami musibah. Saya tak bisa dihubungi karena saat itu berada dalam pesawat. Saya melakukan perjalanan dinas ke Nusa Tenggara Barat.

Ketika sampai, saya hanya dikabari kalau istri dalam keadaan koma di rumah sakit. Detik itu juga saya memburu tiket untuk pulang ke Jakarta.

Di bandara, saya menghubungi handphone istri. Tapi yang menjawab Bapak saya yang meminta saya pulang ke rumah. Padahal saya mau langsung ke rumah sakit melihat istri. Bapak hanya meminta saya pulang dulu anak saya di rumah yang katanya memerlukan saya.

Sampai di rumah, lemas lutut saya ketika melihat bendera kuning kecil sudah berkibar di pagar rumah saya. Ketika itu saya mengira hanyalah istri yang pergi meninggalkan saya untuk selamanya. Tapi ternyata ketika masuk, dua jenazah berjajar menanti kepulangan saya. Saya bingung, jenazah siapa ini?

Bapak mencegah saya melihat kedua jenazah, tapi saya terus memaksa. Dan ketika melihat jenazah anak saya juga terbaring di samping jenazah istri saya, rasanya hati saya hancur bukan main menyaksikan dua orang yang paling saya sayangi sudah tiada.

Bapak pun menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya, kalau Istri saya mengalami pendarahan hebat, lalu ia meminta tolong tetangga kami untuk dibawa ke rumah sakit. Karena terburu-buru, mereka melewati lintasan kereta api tanpa mendengar sinyal kereta mau lewat. Dan ketiganya tewas di tempat, tertabrak kereta.

Saya marah sekali. Menyesali diri sendiri karena tak bisa mencegah musibah terberat dalam hidup saya. Minggu-minggu pertama itu, saya seperti orang gila dan terus berteriak-teriak marah.

Bapak dan Ibu berkali-kali menyuruh saya untuk sholat. Tapi saya malah marah pada mereka dan menyalahkan mereka karena tak mau menemani istri saya saat saya tinggal keluar kota. Ibu dan Bapak sampai menangis mendengar kata-kata saya.

Setelah empat puluh hari lewat, Bapak tetap tak mengizinkan saya hidup sendirian di rumah. Dia masih tinggal bersama ibu. Bedanya ibu di kamarnya yang biasa kalau menginap di rumah saya, sementara saya dan Bapak selalu tidur di kamar tempat Raihan biasa bermain.

Saya memang tidur melingkar terus di kasur tipis tempat Raihan biasa bergulingan sendiri. Beberapa kali timbul keinginan untuk mati menyusul mereka.

Tapi Bapak terus mendampingi saya. Dia sholat di samping saya, berzikir kalau sedang duduk menemani bahkan sesekali dia mencoba berbicara dengan saya. Tapi pikiran saya benar-benar kosong melompong, hati dan jiwa saya seperti ikut mati bersama keluarga saya.

Suatu subuh, saya terbangun dan sayup-sayup mendengar Bapak berzikir di dekat saya yang lagi tidur. Saya mendengar Bapak juga berdoa lama sekali, entah apa isi doanya tapi Bapak sampai terisak-isak menangis.

Saya juga ikut meneteskan airmata dan baru menyadari kalau Raihan juga adalah cucu satu-satunya Bapak. Saya memang punya tiga orang adik, tapi baru saya yang sudah menikah dan punya anak.

Saya duduk dan menyentuh bahu Bapak. Bapak menoleh, tapi berusaha keras tersenyum. “Sholat, nak. Doakan anak dan istrimu, ya!”

Saat itulah, saya seperti disadarkan dari kesedihan. Saya pun bangkit dan untuk pertama kalinya setelah musibah saya sholat kembali. Saya menangis ketika berdoa, menyesal dan memohon ampun.

Bapak duduk di samping saya menunggu saya selesai sholat. Ketika selesai, Bapak dan saya duduk berdampingan seperti saya masih kecil dulu. Pelan-pelan Bapak menasehati saya.

“Kehilangan anak dan istrimu memang musibah besar dalam hidupmu, Nak. Tapi terus menerus menangisi mereka, itu perbuatan yang sia-sia. Di dunia ini kita hanya bersentuhan dengan dua hal, perbuatan baik atau perbuatan buruk. Itu saja.

Karena Allah lebih mencintai anak dan istrimu, agar mereka berdua tak berbuat buruk dan berdosa lebih banyak itu sebabnya Allah mengambil dan menjaga mereka berdua. Ini juga sebagai ujian untukmu dan untuk kita sekeluarga. Apakah kita bisa bersama-sama keluar dari ujian kesabaran ini dan menjadi semakin beriman, atau malah jatuh menjadi hambaNya yang berputus asa?”

“Kalau mau jujur, Bang. Andaikata Bapak ini bisa menangis darah, maka darahlah yang keluar dari mata ini, Nak. Bapak juga sakit di dalam hati sini karena Bapak juga sayang pada menantu Bapak yang soleha dan anakmu yang gagah itu.

Tapi seluruh kebahagiaan dunia itu fana. Kebahagiaan sesungguhnya nanti di surga, anakku. Almarhumah istri dan anakmu sudah menantimu di pintu surga. Maukah kau bertahan tetap hidup di dunia dan menjalani hidup yang lebih baik agar nanti bisa bertemu mereka lagi?

Dengan mendekatkan diri pada Illahi, insya Allah kau juga bisa melewati ujian ini dengan mudah. Jangan sia-siakan penantian mereka di sana dengan membuat dirimu terjerumus dosa, Bang.”

Saya menangis, kali ini bukan karena kehilangan tapi menyesali perbuatan saya selama ditinggalkan orang-orang tercinta. Saya bukannya mendekatkan diri dengan mereka, tapi malah semakin menjauhi mereka.

Mereka menanti saya di pintu surga, saya malah berjalan menuju neraka. Saya pun berjanji pada Bapak untuk berubah. Dan sekarang sudah berbulan-bulan berlalu dari hari yang malang itu, saya masih belum bisa melupakan kenangan indah keluarga saya itu, hanya sekarang saya terus berupaya tetap berada di jalan yang lurus, jalan di mana kelak berujung dengan surga tempat kedua orang yang saya cintai menunggu.

Tunggu saya di pintu surga, sayangku dan kebanggaanku! Nanti kita berjalan bersama menuju kebahagiaan sejati itu.


(cerpen Terbaik {dari berbagai Sumber)

Ketika Aku Terbaring Nanti

KETIKA AKU TERBARING NANTI

Hari sabtu ini, seperti juga sabtu sabtu lain beberapa bulan ini. Kau selalu lembur. Hari liburmu fraktis tinggal sehari, hari minggu saja. Seperti anak anak sekolah saja.
Nanti pulang jam berapa mas ? tanyaku sebelum melepas keberangkatanmu.
Sekitar jam 3, banyak kontrak yang harus kuperiksa dan kuparaf. Kontraktor sudah pada teriak. Maklum tutup tahun. Paling lambat tanggal 12 ini sudah kelar.’’ Katamu sambil memakai jaket hitam kesayanganmu.
Kubantu menutup resleting jaketmu, dan kau mencium keningku, seperti biasa lembut dan mesra.
Jangan lupa maemnya, kataku sebelum akhirnya kupelas kepergian mu diujung gang dan kau berbelok kekanan, menghilang dari pandangan mataku.
Mengantarmu berangkat kerja, meski hanya dari halaman rumah sederhana kita, dengan tatapan mata penuh cinta dan doa selalu membuat hatiku berdebar debar.
Debaran yang masih sama, bahkan jauh lebih menggelora dibanding debar pertama hamper 18 tahun yang lalu saat kau menyentuhku pertama kalinya.
Cintakah ? Nafsu ? Ah,,, buat apa memusingkan kepala hanya untuk menjatuhkan pilihan antara dua kata itu, Toh, mau bilang cinta buktinya aku selalu bernafsu saat berada didekatmu, bahkan saat kau tinggalkan tugas keluar kota.
Nafsu ? Ah,,, mengapa juga harus malu ? bukankah perkawinan telah membuat Tuhan menghalalkan, bahkan menjadikan nafsu paling dasar menjadi halal bagi kita ? bahkan bernilai ibadah.
Kau tentu masih ingat, bukan ? bagaimana minggu lalu ketika seharian aku dirumah ibumu ? sepulang dari kantor kau menjemputku. Seperti biasa pula kucium tanganmu. Kubantu kau melepas jaket, dan kutawarkan padamu segelas teh dingin, kau menatapku hangat.
“Waduh ! kayak manten anyar wae (seperti pengantin baru saja) pirang ndino se gak ketemu, (berapahari sih gak bertemu) ? ‘’’Goda Bu, lek, adik ipar ibumu yang tiba tiba berada dibelakang kita.
Aku tersipu, setengah menyesal mengapa tadi tak sempat mengingat kalau didapur banyak orang, kebetulan malam hari nanti ada selamatan tiga harian meninggalnya saudara kita.
Melihatku tersipu, sambil tersenyum kau menjawab.
“”yoo opo se Bu,Lek ! ( gimana se Bu, Lek ini )  Lha dulu jauh jauh tugas kubela belain nguruskan untuk mutasi hingga berbulan bulan biar kumpul, masak sekarang gak kusayang sayang.?””
Ah, perempuan mana tak tersanjung dengan kalimat itu ? seandainya saja kau bisa melihat, kebun bunga didadaku penuh aroma mawar dan melati yang bermekaran.
Begitu pun 4 hari berikutnya, ketika acara 7 harian saudara ipar kita itu. Kau seperti biasa kekantor hingga usai maghrib baru menyusulku kerumah ibu.
Seperti biasa, berpisah sehari (tanpa semalam) denganmu terlalu banyak hal yang harus segera dan ingin kuceritakan kepadamu. Tentang anak anak kita, tentang teman teman kantorku, juga perasaanku hari itu,sambil berdiri berhadap hadapan, kau lingkarkan satu tangan kananmu kepinggangku. Kita terlalu asik bercerita, kita lupa banyak saudara disitu. Hingga aku harus sekali lagi tersipu malu ketika mba ida menggoda kita.
“”Aduuuuuuuh yang pengantin baru ! Lupa sama yang lain.””
Ah,,,, cinta kita ternyata semakin bermekaran.
*****
Hingga belasan tahun menikah, kita selalu mesra, selalu bersetia, saling sayang, dan selalu kompak. Meski, akhir akhir ini kau selalu memprotes dengan kalimat candaan tentang kondisi kesehatanku yang terus memburuk.
“”Hm,Dik, rasanya kita mulai tak kompak ?””
“”Maksud Mas ?”” tanyaku tak mengerti.
“”ya, mana bisa kompak, kalau aku darah tinggi dan kau darah rendah ?”” katamu sambil mengacak acak rambutku.
Lalu kita tertawa bersama seperti biasa.
Alangkah indahnya cinta kita. Alangkah surga rumah tangga kita. Ada engkau yang selalu cinta dan setia untukku, juga aku, engkau yang selalu bersiap membenahi segala urusan rumah kita, mulai bayar air, telpon, biaya sekolah anak anak, membenahi lampu bila mati, kran air, memanggil tukang bila perlu, mengantar dan menjemput anak anak kesekolah, dan semua semuanya kau lakukan penuh cinta.
Tak pernah mengeluh, hanya selalu kau minta memijat punggung, pinggang, bahu, kaki bahkan seluruh tubuhmu bila kau lelah. Akupun selalu berusaha tak mengeluh. Aku bahagia karena kau membutuhkan aku, sama seperti aku membutuhkanmu.
Dan, ada anak anak yang selalu membuat hidup kita berwarna dan bermakna.
Kadang bila kita berjauhan, bahkan saat aku berada dalam pelukanmu, kubayangkan apakah aku sanggup hidup tanpamu ? tak ada hal yang kuselesaikan, kuraih, kunikmati, dalam hidup ini tanpa bantuanmu, kehadiranmu.
Membayangkan hal kecil saja, semisal saat listrik konslet atau kran air mati, aku sudah kebingungan.aku tak pernah belajar. Tak pernah melakukannya, kau pun melarangku melakukannya.
Katamu, aku lebih baik mendampingi anak anak belajar atau menulis dan mengerjakan tugas tugasku yang lain, Ya, kau selalu menyiapkan tanganmu, bahumu, dadamu, bahkan nyawamu untukku.
Kau pun selalu memaapkan salah dan khilafku. Sungguh, dalam hidupku tak kutemui orang setelah ibu-bapakku, yang mencintaiku, dan selalu memaapkanku, selain engkau, lalu salahkah bila aku membayangkan takkan sanggup hidup tanpamu ? betapa berartinya kau padaku.
Kini, ketika kucoba membalik kenyataan itu, ketika kubayangkan tiba-tiba maut menjemputku lebih cepat, dan aku harus kembali pada-Nya meninggalkanmu dan anak-anak, rasanya seperti meluluhlantakkan tulang-tulangku sendiri. Gemetar seluruh tubuhku menggigil. Air mata yang hampir menetes itu kutelan kembali, kubiarkan menjadi lautan tangis didadaku. Biar hanya dia yang mendengar.
Tak sanggup kubayangkan dirimu sendirian, membagi waktu antara bekerja dan membimbing anak-anak. Tak sanggup kubayangkan sepi dan dinginmu malam-malam saat seluruh tubuhmu lelah. Tak sanggup kubayangkan.
“”Mas,”” sore kemarin kuberanikan diri memulai percakapan.
“”Hmm,”” katamu sambil menatap televisi yang menayangkan berita banjir lahar dingin di magelang.
“”Mas, peluk aku,”” Pintaku lirih.
Sore itu hanya ada kita dirumah, anak anak belum ada yang pulang dari mengaji dimasjid.
“”Kenapa ? sakit ?”” katamu langsung memelukku hangat.
“”Mas,,”” suaraku gemetar. Air mata yang kutahan seharian ini merebak juga.
“”Kau kenapa ?”” kau menatapku penuh kekhawatiran.
“”Bila, suatu saat hari kelak aku harus pergi lebih dulu, carilah penggantiku.””
“”Ssst ! jangan ngomong itu.””
Kau mencium keningku lembut. Beberapa waktu kita terdiam. Hanya kurasakan nafasmu tak lagi beraturan.
“”Gak. Mas, Beneran. Aku ikhlas. Mas harus mencari penggantiku, kasihan anak-anak. Kasihan mas gak ada yang ngurusi,”” kataku lagi.
Kau memegang erat tanganku.
“”Dik,, kita telah hidup bersama berpuluh-puluh tahun. Aku bahagia sangat bahagia. Tak semudah itu menggantikanmu dengan yang lainnya. Lagi pula aku tak yakin akan mendapatkan istri yang lebih baik darimu. Bisa-bisa aku mendapatkan yang lebih bawel darimu,’’’ katamu mengakhiri jawaban itu dengan bercanda.
Aku tahu. Sangat  tahu. Aku bawel. Namun, kau pun menyukainya. Hingga bila tiba-tiba dalam sehari tak ada cerita baru yang kubagikan padamu, kau akan dengan cemas bertanya apakah aku sakit.
‘’’’Mas. Aku serius ! selain itu, si cantik kelak harus jadi dokter. Yang lain terserah.””
Kau menatapku dan segera sadar bahwa aku bicara serius.
“’’Mas. fotolah aku sepuas Mas, selama masih segar tubuhku, masih canntik wajahku, dan masih manis senyumku. Biar kenangan indah ini akan tetap terfatri dalam hatimu.’’’
Kau diam. Tak menjawab. Adzan Ashar terdengar, kau bersegera ambil wudhu lalu kemasjid. Tanpa salam seperti biasanya.
Mungkinkah hatimu sehancur hatiku kini ? kau tentu masih ingat, ketika dalam tangis tersedu kuceritakan betapa bayangan kematian itu terasa semakin dekat akhir-akhir ini bagiku. Aku tahu, meski kau katakana bahwa hidup dan mati itu urusan Tuhan, tapi kaupun tak siap, bila ketakutanku menjadi kenyataan.
Seminggu yang lalu, dokter menyuruhku untuk melakukan berbagai tes. Beberapa jenis tes darah untuk melihat kelainan apa yang menyebabkan selalu terjadi pendarahan pada bagian kewanitaanku, setiap kali habis kutunaikan tugasku sebagai seorang istri padamu.
Darah segar yang membuatku begitu ketakutan, tiap  kali kau menyentuhku. Syukurlah kau mengerti dan bersabar menerima keadaan itu.
Sambil menunggu hasil tes dari laboratorium, kucoba bertanya kepada beberapa temanku yang kebetulan menjadi dokter atau bidan. Dari mereka aku tahu bahwa pendarahan yang terjadi itu, bias jadi merupakan pertanda adanya kanker dirahimku.
Dua malam aku hamper tak sanggup memejamkan mata. Ketika kau menanyakan padaku apakah ada yang sedang aku pikirkan, dengan air mata berderai kujawab pelan.
‘’’’Mas. Pendarahan itu mungkin saja pertanda adanya sel kanker dirahimku.’’’
Kau terkejut sesaat. Lalu dengan lembut kau memelukku.
“’’Itu kan baru secara Teoritis. Berdoalah semoga tidak terjadi apa-apa.’’’
“’’Mas. Aku takut.’’’
Dan seperti biasanya, tanpa banyak kata kau memelukku, mengelus rambutku.
Tetapi ketika besok pagi, ketika hasil tes laboratorium itu kuterima, masihkah aku sanggup menatap dunia bila ternyata dirahimku benar-benar ditemukan kanker.
Ya Allah. Aku benar –benar ketakutan.
Sepulang dari masjid, kau cium pipiku. Lalu kau rengkuh tubuhku dipangkuaanmu.
‘’’’Diantara semua hal yang kau katakana tadi, hanya satu yang kusetujui.’’’
“””Apa Mas ?””
“”Memotretmu dalam berbagai gaya. Nah sekarang mandilah. Lalu berdandan yang cantik. Biarkan kupenuhi permintaanmu.’’’’
Sekali ini aku tersipu. Aku tahu pikiranmu. Kau suka memotretku, memaksaku nakal.’’ Kau memang anugerah terindah bagiku. Bila benar esok aku harus menerima suratan takdir mengerikan itu. Aku tahu, aku memilikimu. Memiliki lelaki terbaik yang akan selalu mendampingiku dalam keadaan apapun.

-oleh Faradina Izdihary-