Sebagaimana
Allah telah menghalalkan apa yang dahulu haram disebabkan oleh pernikahan maka
Allah pun membebankan kewajiban yang terjadi akibat dari pernikahan. Pembebanan
itu merupakan konsekwensi dari kesenangan yang diperoleh dalam pernikahan.
Kewajiban yang ditetapkan dalam pernikahan meliputi dua bagian. besarnya itu
kewajiban yang bersipat fisik dan kewajiban bersipat hati. Masing-masing bagian
itu memiliki porsi yang sama dan saling berkaitan satu sama lain.
Setiap
manusia mempunyai kadar yang berbeda dalam memandang dan menghayati
pernikahannya dan ini pun berlaku dalam pelaksanaan seluruh kewajiban yang
ditetapkan dalam pernikahan. Manusia memiliki perbedaan dalam seberapa dia mampu
untuk memenuhi tuntutan pernikahan dan seberapa tingkat kesulitan yang di
hadapinya.
Kesulitan
yang dihadapi oleh seseorang dalam pernikahannya ada tiga bagian yaitu :
v Tidak
mampu mencari rezeki yang halal.
v Tidak
dapat memenuhi hak istri.
v Mengurangi
rasa taqwa kepada Allah swt.
Pembahasan
tentang berbagai kesulitan yang terjadi dalam pernikahan bukanlah dengan maksud
untuk mengecilkan hati dan membuat mundur langkah bagi mereka yang hendak
menikah. Pembahasan tentang kesulitan dalam pernikahan merupakan sebuah
pembahasan yang wajib diketahui agar dengan pengetahuan itu dapat terhindar
dari kesalahan terselubung yang sering tidak disadari dan ternyata dapat
membuat seseorang terjerumus dalam perbuatan dosa.
a. Salah
Satu Bentuk Kesulitan
Salah satu
tanggung jawab yang dibebankan oleh pernikahan kepada laki-laki adalah tentang
pemberian nafkah kepada istrinya. memberi nafkah hukumnya wajib dan tidak dapat
digugurkan oleh laki-laki. Pembebanan ini memiliki landasan yang kuat yaitu
Al-Qur’an, hadits, Ijma, dan Qiyas.
”dan kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu (anaknya) dengan cara yang makruf. (Qs.
Al-baqarah:233).
“tempatkanlah mereka (para istri)
dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka dan jika mereka (istri-istri
yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkah
hingga mereka bersalin. (Qs. At-thalak:6)
Berdasarkan dalil ijma, maka umat
islam telah sepakat mengenai kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada
istrinya dan tidak seorangpun yang mengingkarinya. Dari masa Rasulullah saw
sampai hari ini. Sedangkan berdasarkan logika, sebenarnya istri tertahan
dirumahnya karena pemenuhan hak suaminya dan karena suami berkewajiban untuk
mencarikan dia nafkah. Dibuat perumpamaan pegawai umum yang melayani rakyat.
Nafkah mereka kewajiban umat dan masyarakat karena mereka menahan haknya dan
kemaslahatannya.
Pemberian
nafkah suami kepada istri meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu
bila mampu dan pengobatan. Mengenai seberapa besar jumlah nafkah ada yang
berbeda pendapat. Ada yang mengatakan sesuai keadaan suami. Ada yang sesuai
dengan keadaan istri dan ada pula yang mengatakan sesuai dengan keadaan mereka
berdua. Sebenarnya, hal yang seperti ini merupakan kesepakatan mereka berdua
mengenai berapa besar jumlah nafkah yang harus diberikan suami. Yang terpenting
adalah keikhlasan kedua belah pihak untuk menerima apa yang telah Allah
karuniakan.
Permasalahan
pemberian nafkah ini sering dijadikan kambing hitam (dipermasalahkan) oleh
sebagian suami terhadap apa yang telah mereka lakukan bila mereka berbuat
kejahatan. Alasannya adalah mereka harus memberikan makan kepada istrinya
sehingga nekat berbuat kejahatan. Mereka beralasan bahwa kebutuhan istrinya
telah membuat mereka bingung harus mencari kemana sementara keadaan mereka
sendiri dalam kesulitan.
Mencari
rezeki yang halal bagi mereka adalah seperti mencari jarum ditumpukan jerami.
Sebuah usaha yang sulit sekali. Sementara kebutuhan perut terus berjalan
sehingga bagi mereka yang penting mendapatkan rezeki dan tidak peduli halal
atau haram.
Coba tengoklah keadaan saat ini,
ketika seorang ayah tega mencuri demi tangisan anaknya yang belum makan. Atau
seorang ibu yang rela menjual kehormatannya demi uang sekolah anaknya. Apa yang
telah mereka lakukan sesungguhnya perbuatan yang tercela namun dipaksakan demi
alasan ekonomi keluarga yang sedang kesulitan.
Inilah
kesulitan yang disebut sebagai kesulitan mencari nafkah yang halal dalam
keluarga dan mereka merasa tidak berdaya menghadapi kenyataan yang menjerat
mereka. Yang penting adalah makan. Tidak peduli dari mana asalnya. Keadaan
seperti ini bisa membuat peluang besar terjadinya perbuatan-perbuatan tercela
yang diharamkan seperti contoh diatas dan itu bagi mereka adalah keterpaksaan
yang harus dilakukan bila mereka tidak ingin mati kelaparan. Keputusan yang
seperti ini sebenarnya pelan-pelan membuat mereka terjerumus dalam kesesatan
dan rusaklah kehidupan mereka. Segala menjadi sulit ketika justru sang istrilah
yang mendorong suami untuk menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan
kebenaran demi tuntutan hidup yang tidak kunjung terpuaskan. Maraknya budaya
konsumenrisme seakan-akan membutakan matanya bahwa suami harus memberikan
nafkah yang halal bagi keluarganya. Ada hadits yang mengatakan bahwa kelak ada
seorang manusia yang kehilangan seluruh kebaikannya karena dimakan oleh
keluarganya.
“(pada hari kiamat nanti) ada
seorang hamba disuruh berdiri pada timbangan amal, dimana dirinya mempunyai
kebaikan seperti gunung,. Kemudian ia ditanya tentang pemeliharaan keluarganya
dan pelaksanaan alam memenuhi hak-hak mereka. Ia ditanya tentang hartanya. dari
mana ia memperoleh harta tersebut,? Kepada siapa ia membelanjakan hartanya
sehingga habis pahalanya itu dengan segala tuntutan seluruh amal perbuatannya,
sampai tidak tersisa sedikitpun baginya suatu kebajikan. Seketika itu malaikat
berseru: “inilah orang yang ketika di dunia amal kebajikannya dimakan oleh
keluarganya, pada hari ini ia tergadai dengan segala perbuatannya”.
Bagi
suami yang merelakan diri untuk mencarikan rizki yang tidak halal bagi
keluarga, sesungguhnya mereka melupakan bahwa dalam pundaknya terletak surga
dan neraka keluarga mereka. Apa yang mereka berikan sebagai makanan dan pakaian
yang berasal dari barang halal akan menjadi awal untuk menyegerakan diri kepada
perbuatan baik karena dalam tubuh mereka ada harta halal. Demikian pula bila
diperoleh dari harta yang haram. Tubuh
keluarganya akan menjadi awal bagi kejahatan-kejahatan berikutnya.
b. Setelah
Kesulitan Pasti Ada Kemudahan
islam
menghargai motivasi yang baik dan maksud yang baik pula dan semua yang
berdasarkan niat yang tulus untuk mencari nafkah bagi keluarga bahkan Allah
mengatakan ada dosa yang tidak bisa gugur kecuali dengan berlelah-lelah mencari
nafkah keluarga. Seseorang yang berniat baik akan mendapatkan pahala yang
sesuai dengan niatnya.
“sesungguhnya amal perbuatan itu (tergantung)
kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang
diniatkannya”.(HR.Bukhari)
Walaupun
begitu, islam tidak mengijinkan bahwa niat baik untuk menghidupi keluarga
dicampuradukkan dengan perbuatan-perbuatan yang tercela apalagi perbuatan keji.
Karenanya islam menjaga kesucian niat mencari nafkah dengan kebersihan
sarananya. Syariat tidak mengenal prinsip menghalalkan cara dan mendapatkan
dkebenaran dengan menyelami banyak kebatilan.
“sesungguhnya Allah itu baik dan
tidak menerima kecuali yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan
orang-orang yang beriman dengan hal-hal yang diperintahkan kepada para rasul.
Allah berfirman, “wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan lakukanlah
amal shalihah. Sesungguhnya aku maha mengetahui akan apa yang kalian lakukan.”
(Qs. Al-Mukminun:51)
Bahkan Allah menjanjikan keindahan
pertemuan dengan Allah dengan membuat wajah seperti purnama bagi suami yang
rela bekerja keras untuk menghidupi keluarganya dengan jalan yang halal.
Bukankah itu suatu pertemuan yang menggembirakan.?
Di akhiratpun, suami akan dihisab pertama
kali yang akan berhubungan dengan orang lain adalah yang berkenaan dengan
masalah istri dan anaknya. Istri dan anaknya berdiri dihadapan Allah swt,
seraya berkata : “Wahai Tuhan kami, ambillah hak-hak kami dari dia, karena
sesungguhnya dia tidak mengajarkan kepada kami makanan yang haram. Sedangkan
kami tidak mengetahuinya”. seketika itu, Allah swt memotong amalnya untuk
diberikan kepada anak istrinya.
Terkadang kunci kebaikan dan keburukan
seseorang terlihat dari apa yang menjadi pusat perhatiannya. Apakah dunia atau
akhirat. Sebagian salaf mengatakan bahwa keluarga terkadang menjadi tolak ukur
kebaikan dan keburukan seseorang terletak pada
keluarganya.
Al-Hasan bin Ali ra pernah berkata :
Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka hamba itu tidak
disibukkan dengan urusan keluarga dan harta. Ibnu Abil Hawari berkata : telah
terjadi perdebatan di kalangan sebagian orang mengenai hadits diatas. Akhirnya
mereka berpendapat, bahwa bukannya meniadakan, tetapi dengan adanya pernikahan
itu tidak sampai mengganggu ibadahnya. Hal itu sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh Abu Sulaiman Ad-Darany, yakni segala Sesuatu yang menghambat dirimu dari
beribadah kepada Allah baik disebabkan oleh keluarga, harta atau anak, maka itu
merupakan suatu kemalangan bagimu.
Dengan adanya keluarga, seorang suami
diharapkan tetap mengutamakan kecintaan kepada Allah dari pada keluarganya.
Allah
swt tidak akan menyertakan sebuah kesulitan kepada seseorang, melinkan pula mengikuti
dibelakangnya, sebuah kemudahan. Sebagaimana yang telah tertulis dalam
firmannya : fainna ma’al usri yusra (sesungguhnya setiap kesusahan diikuti oleh
kemudahan). Bagi yang tidak beriman, banyak orang yang mampu menahan diri dari
godaan untuk mencari nafkah untuk keluarganya dari jalan yang haram. Apalagi saat
ini kehidupan ekonomi yang demikian sulit, mudah sekali menjurumuskan seseorang
untuk berbuat kejahatan dengan terbukanya peluang yang sangat besar untuk itu.
Apalagi
bila istri kurang beriman dan agamanya lemah, ia akan meminta kehidupan duniawi
yang melebihi kapasitas yang dimilikinya demi mengejar gengsi dan status
sosial. Lengkap sudah syarat untuk melakukan kejahatan. Jadi, tinggal bagaimana
suami dapat menahan diri dan belajar untuk bersikap qona’ah (merasa cukup
dengan rizki yng diperolehnya). Bahkan Rasulullah telah memberikan peringatan
yang berkaitan dengan keadaaan suami seperti ini. Sabda Nabi saw :
akan
datang kepada manusia suatu zaman, dimana kehancuran seorang laki-laki terletak
ditangan istrinya, kedua orang tuanya dan anak-anaknya. Mereka semua
menghinakannya dengan kefakiran serta memberatinya dengan pikulan yang tidak
disanggupinya. Lalu ia terjerumus ketempat-tempat yang bisa menghilangkan
agamanya, maka rusaklah dia.
Bahkan
seorang salaf yang bernama Abu Sulaiman Ad-Dharani, ketika ia ditanya mengenai
pernikahan, ia menjawab : Bersabar untuk menikahi wanita lebih baik daripada
bersabar atas keburukan wanita dan bersabar terhadap keburukan wanita lebih
baik daripada bersabar atas neraka.
Orang yang berusaha untuk menjalankan
kewajibannya mencari nafkah dan tetap menjaga kehormatan suami dengan tidak
menuruti kehendak istri dan berusaha mengajarkan kepada istrinya tentang
kehidupan yang lebih kekal (akhirat) itulah yang lebih baik adalah suami yang
dapat terlepas dari terjerumus dari kejahatan mencari nafkah ditempat yang
haram.
Akhirnya, suami yang berusaha untuk
mencari penghidupan dengan cara yang halal akan selalu berpegang kepada hadits
berikut agar tidak terjebak dalam mencari nafkah haram demi keluarganya.
barang
siapa mengumpulkan harta dari (harta) yang haram kemudian menyedekahkannya, Ia
tidak mendapatkan pahala sedekah tersebut dan dialah yang menanggung dosanya.
(HR Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim dari Abu Hurairah ra)
“tiada seorang hamba
yang mendapatkan nafkah haram kemudian
menyedekahkannya lalu diterima, tiada pula menafkahkan kemudian diberkahi,
tidak pula menyimpannya kecuali ia akan menjadi bekalnya menuju neraka. Sesungguhnya Allah swt tidak menghapus
keburukan dengan keburukan, akan tetapi menghapus keburukan dengan kebaikan. Sesungguhnya,
sesuatu yang buruk itu tidak akan membersihkan yang buruk semisalnya. (Ahmad
dan lainnya dari Ibnu Mas’ud).
Kesulitan hidup untuk mencari nafkah yang
halal, hendaknya jangan dijadikan alasan untuk takut menikah. Atau karena ingin
mendapat kemudahan dalam soal biaya, hingga melakukan pernikahan-pernikahan
yang dilaknat Allah swt. misalnya dengan melakukan pernikahan tanpa mahar atau
melakukan nikah mut’ah untuk sebuah
percobaan dalam waktu tertentu.
Yakinlah akan kemurahan Allah kepada
setiap hambanya. Jangan mudah berputus Asa jika mendapatkan kesulitan. Karena setiap
kesulitan disertai kemudahan.
Best seller
Khudzaifah Al Jarjani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar