Sabtu, 27 April 2013

Dalam pernikahan ada kesulitan ada juga kemudahan***



Sebagaimana Allah telah menghalalkan apa yang dahulu haram disebabkan oleh pernikahan maka Allah pun membebankan kewajiban yang terjadi akibat dari pernikahan. Pembebanan itu merupakan konsekwensi dari kesenangan yang diperoleh dalam pernikahan. Kewajiban yang ditetapkan dalam pernikahan meliputi dua bagian. besarnya itu kewajiban yang bersipat fisik dan kewajiban bersipat hati. Masing-masing bagian itu memiliki porsi yang sama dan saling berkaitan satu sama lain.
Setiap manusia mempunyai kadar yang berbeda dalam memandang dan menghayati pernikahannya dan ini pun berlaku dalam pelaksanaan seluruh kewajiban yang ditetapkan dalam pernikahan. Manusia memiliki perbedaan dalam seberapa dia mampu untuk memenuhi tuntutan pernikahan dan seberapa tingkat kesulitan yang di hadapinya.
Kesulitan yang dihadapi oleh seseorang dalam pernikahannya ada tiga bagian yaitu :
v  Tidak mampu mencari rezeki yang halal.
v  Tidak dapat memenuhi hak istri.
v  Mengurangi  rasa taqwa kepada Allah swt.
Pembahasan tentang berbagai kesulitan yang terjadi dalam pernikahan bukanlah dengan maksud untuk mengecilkan hati dan membuat mundur langkah bagi mereka yang hendak menikah. Pembahasan tentang kesulitan dalam pernikahan merupakan sebuah pembahasan yang wajib diketahui agar dengan pengetahuan itu dapat terhindar dari kesalahan terselubung yang sering tidak disadari dan ternyata dapat membuat seseorang terjerumus dalam perbuatan dosa.
a.       Salah Satu Bentuk Kesulitan
Salah satu tanggung jawab yang dibebankan oleh pernikahan kepada laki-laki adalah tentang pemberian nafkah kepada istrinya. memberi nafkah hukumnya wajib dan tidak dapat digugurkan oleh laki-laki. Pembebanan ini memiliki landasan yang kuat yaitu Al-Qur’an, hadits, Ijma, dan Qiyas.
”dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu (anaknya) dengan cara yang makruf. (Qs. Al-baqarah:233).
“tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka bersalin. (Qs. At-thalak:6)
Berdasarkan dalil ijma, maka umat islam telah sepakat mengenai kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan tidak seorangpun yang mengingkarinya. Dari masa Rasulullah saw sampai hari ini. Sedangkan berdasarkan logika, sebenarnya istri tertahan dirumahnya karena pemenuhan hak suaminya dan karena suami berkewajiban untuk mencarikan dia nafkah. Dibuat perumpamaan pegawai umum yang melayani rakyat. Nafkah mereka kewajiban umat dan masyarakat karena mereka menahan haknya dan kemaslahatannya.
            Pemberian nafkah suami kepada istri meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu bila mampu dan pengobatan. Mengenai seberapa besar jumlah nafkah ada yang berbeda pendapat. Ada yang mengatakan sesuai keadaan suami. Ada yang sesuai dengan keadaan istri dan ada pula yang mengatakan sesuai dengan keadaan mereka berdua. Sebenarnya, hal yang seperti ini merupakan kesepakatan mereka berdua mengenai berapa besar jumlah nafkah yang harus diberikan suami. Yang terpenting adalah keikhlasan kedua belah pihak untuk menerima apa yang telah Allah karuniakan.
            Permasalahan pemberian nafkah ini sering dijadikan kambing hitam (dipermasalahkan) oleh sebagian suami terhadap apa yang telah mereka lakukan bila mereka berbuat kejahatan. Alasannya adalah mereka harus memberikan makan kepada istrinya sehingga nekat berbuat kejahatan. Mereka beralasan bahwa kebutuhan istrinya telah membuat mereka bingung harus mencari kemana sementara keadaan mereka sendiri dalam kesulitan.
            Mencari rezeki yang halal bagi mereka adalah seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Sebuah usaha yang sulit sekali. Sementara kebutuhan perut terus berjalan sehingga bagi mereka yang penting mendapatkan rezeki dan tidak peduli halal atau haram.
Coba tengoklah keadaan saat ini, ketika seorang ayah tega mencuri demi tangisan anaknya yang belum makan. Atau seorang ibu yang rela menjual kehormatannya demi uang sekolah anaknya. Apa yang telah mereka lakukan sesungguhnya perbuatan yang tercela namun dipaksakan demi alasan ekonomi keluarga yang sedang kesulitan.
            Inilah kesulitan yang disebut sebagai kesulitan mencari nafkah yang halal dalam keluarga dan mereka merasa tidak berdaya menghadapi kenyataan yang menjerat mereka. Yang penting adalah makan. Tidak peduli dari mana asalnya. Keadaan seperti ini bisa membuat peluang besar terjadinya perbuatan-perbuatan tercela yang diharamkan seperti contoh diatas dan itu bagi mereka adalah keterpaksaan yang harus dilakukan bila mereka tidak ingin mati kelaparan. Keputusan yang seperti ini sebenarnya pelan-pelan membuat mereka terjerumus dalam kesesatan dan rusaklah kehidupan mereka. Segala menjadi sulit ketika justru sang istrilah yang mendorong suami untuk menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan kebenaran demi tuntutan hidup yang tidak kunjung terpuaskan. Maraknya budaya konsumenrisme seakan-akan membutakan matanya bahwa suami harus memberikan nafkah yang halal bagi keluarganya. Ada hadits yang mengatakan bahwa kelak ada seorang manusia yang kehilangan seluruh kebaikannya karena dimakan oleh keluarganya.
“(pada hari kiamat nanti) ada seorang hamba disuruh berdiri pada timbangan amal, dimana dirinya mempunyai kebaikan seperti gunung,. Kemudian ia ditanya tentang pemeliharaan keluarganya dan pelaksanaan alam memenuhi hak-hak mereka. Ia ditanya tentang hartanya. dari mana ia memperoleh harta tersebut,? Kepada siapa ia membelanjakan hartanya sehingga habis pahalanya itu dengan segala tuntutan seluruh amal perbuatannya, sampai tidak tersisa sedikitpun baginya suatu kebajikan. Seketika itu malaikat berseru: “inilah orang yang ketika di dunia amal kebajikannya dimakan oleh keluarganya, pada hari ini ia tergadai dengan segala perbuatannya”.
Bagi suami yang merelakan diri untuk mencarikan rizki yang tidak halal bagi keluarga, sesungguhnya mereka melupakan bahwa dalam pundaknya terletak surga dan neraka keluarga mereka. Apa yang mereka berikan sebagai makanan dan pakaian yang berasal dari barang halal akan menjadi awal untuk menyegerakan diri kepada perbuatan baik karena dalam tubuh mereka ada harta halal. Demikian pula bila diperoleh  dari harta yang haram. Tubuh keluarganya akan menjadi awal bagi kejahatan-kejahatan berikutnya.
b.      Setelah Kesulitan Pasti Ada Kemudahan
islam menghargai motivasi yang baik dan maksud yang baik pula dan semua yang berdasarkan niat yang tulus untuk mencari nafkah bagi keluarga bahkan Allah mengatakan ada dosa yang tidak bisa gugur kecuali dengan berlelah-lelah mencari nafkah keluarga. Seseorang yang berniat baik akan mendapatkan pahala yang sesuai dengan niatnya.
sesungguhnya amal perbuatan itu (tergantung) kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya”.(HR.Bukhari)
Walaupun begitu, islam tidak mengijinkan bahwa niat baik untuk menghidupi keluarga dicampuradukkan dengan perbuatan-perbuatan yang tercela apalagi perbuatan keji. Karenanya islam menjaga kesucian niat mencari nafkah dengan kebersihan sarananya. Syariat tidak mengenal prinsip menghalalkan cara dan mendapatkan dkebenaran dengan menyelami banyak kebatilan.
“sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan hal-hal yang diperintahkan kepada para rasul. Allah berfirman, “wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan lakukanlah amal shalihah. Sesungguhnya aku maha mengetahui akan apa yang kalian lakukan.” (Qs. Al-Mukminun:51)
      Bahkan Allah menjanjikan keindahan pertemuan dengan Allah dengan membuat wajah seperti purnama bagi suami yang rela bekerja keras untuk menghidupi keluarganya dengan jalan yang halal. Bukankah itu suatu pertemuan yang menggembirakan.?
      Di akhiratpun, suami akan dihisab pertama kali yang akan berhubungan dengan orang lain adalah yang berkenaan dengan masalah istri dan anaknya. Istri dan anaknya berdiri dihadapan Allah swt, seraya berkata : “Wahai Tuhan kami, ambillah hak-hak kami dari dia, karena sesungguhnya dia tidak mengajarkan kepada kami makanan yang haram. Sedangkan kami tidak mengetahuinya”. seketika itu, Allah swt memotong amalnya untuk diberikan kepada anak istrinya.
      Terkadang kunci kebaikan dan keburukan seseorang terlihat dari apa yang menjadi pusat perhatiannya. Apakah dunia atau akhirat. Sebagian salaf mengatakan bahwa keluarga terkadang menjadi tolak ukur kebaikan dan keburukan seseorang terletak pada  keluarganya.
      Al-Hasan bin Ali ra pernah berkata : Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka hamba itu tidak disibukkan dengan urusan keluarga dan harta. Ibnu Abil Hawari berkata : telah terjadi perdebatan di kalangan sebagian orang mengenai hadits diatas. Akhirnya mereka berpendapat, bahwa bukannya meniadakan, tetapi dengan adanya pernikahan itu tidak sampai mengganggu ibadahnya. Hal itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Ad-Darany, yakni segala Sesuatu yang menghambat dirimu dari beribadah kepada Allah baik disebabkan oleh keluarga, harta atau anak, maka itu merupakan suatu kemalangan bagimu.
      Dengan adanya keluarga, seorang suami diharapkan tetap mengutamakan kecintaan kepada Allah dari pada keluarganya.
Allah swt tidak akan menyertakan sebuah kesulitan kepada seseorang, melinkan pula mengikuti dibelakangnya, sebuah kemudahan. Sebagaimana yang telah tertulis dalam firmannya : fainna ma’al usri yusra (sesungguhnya setiap kesusahan diikuti oleh kemudahan). Bagi yang tidak beriman, banyak orang yang mampu menahan diri dari godaan untuk mencari nafkah untuk keluarganya dari jalan yang haram. Apalagi saat ini kehidupan ekonomi yang demikian sulit, mudah sekali menjurumuskan seseorang untuk berbuat kejahatan dengan terbukanya peluang yang sangat besar untuk itu.
Apalagi bila istri kurang beriman dan agamanya lemah, ia akan meminta kehidupan duniawi yang melebihi kapasitas yang dimilikinya demi mengejar gengsi dan status sosial. Lengkap sudah syarat untuk melakukan kejahatan. Jadi, tinggal bagaimana suami dapat menahan diri dan belajar untuk bersikap qona’ah (merasa cukup dengan rizki yng diperolehnya). Bahkan Rasulullah telah memberikan peringatan yang berkaitan dengan keadaaan suami seperti ini. Sabda Nabi saw :
 akan datang kepada manusia suatu zaman, dimana kehancuran seorang laki-laki terletak ditangan istrinya, kedua orang tuanya dan anak-anaknya. Mereka semua menghinakannya dengan kefakiran serta memberatinya dengan pikulan yang tidak disanggupinya. Lalu ia terjerumus ketempat-tempat yang bisa menghilangkan agamanya, maka rusaklah dia.
Bahkan seorang salaf yang bernama Abu Sulaiman Ad-Dharani, ketika ia ditanya mengenai pernikahan, ia menjawab : Bersabar untuk menikahi wanita lebih baik daripada bersabar atas keburukan wanita dan bersabar terhadap keburukan wanita lebih baik daripada bersabar atas neraka.
      Orang yang berusaha untuk menjalankan kewajibannya mencari nafkah dan tetap menjaga kehormatan suami dengan tidak menuruti kehendak istri dan berusaha mengajarkan kepada istrinya tentang kehidupan yang lebih kekal (akhirat) itulah yang lebih baik adalah suami yang dapat terlepas dari terjerumus dari kejahatan mencari nafkah ditempat yang haram.
      Akhirnya, suami yang berusaha untuk mencari penghidupan dengan cara yang halal akan selalu berpegang kepada hadits berikut agar tidak terjebak dalam mencari nafkah haram demi keluarganya.
      barang siapa mengumpulkan harta dari (harta) yang haram kemudian menyedekahkannya, Ia tidak mendapatkan pahala sedekah tersebut dan dialah yang menanggung dosanya. (HR Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim dari Abu Hurairah ra)
“tiada seorang hamba yang mendapatkan  nafkah haram kemudian menyedekahkannya lalu diterima, tiada pula menafkahkan kemudian diberkahi, tidak pula menyimpannya kecuali ia akan menjadi bekalnya menuju neraka.  Sesungguhnya Allah swt tidak menghapus keburukan dengan keburukan, akan tetapi menghapus keburukan dengan kebaikan. Sesungguhnya, sesuatu yang buruk itu tidak akan membersihkan yang buruk semisalnya. (Ahmad dan lainnya dari Ibnu Mas’ud).
      Kesulitan hidup untuk mencari nafkah yang halal, hendaknya jangan dijadikan alasan untuk takut menikah. Atau karena ingin mendapat kemudahan dalam soal biaya, hingga melakukan pernikahan-pernikahan yang dilaknat Allah swt. misalnya dengan melakukan pernikahan tanpa mahar atau melakukan nikah mut’ah untuk  sebuah percobaan dalam waktu tertentu.
      Yakinlah akan kemurahan Allah kepada setiap hambanya. Jangan mudah berputus Asa jika mendapatkan kesulitan. Karena setiap kesulitan disertai kemudahan.

Best seller
Khudzaifah Al Jarjani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar