Adisty Adelia nama ku, seorang mahasiswi semester 6
jurusan akuntansi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Beberapa
tahun ini aku sedang dekat dengan seorang pria yang sangat aku cintai, Ahmad
Qasam Amrul Haq namanya. Mahasiswa tingkat akhir jurusan sastra arab di kampus
Negeri Perguruan tinggi Jakarta pula.
Kedekatan kami bukan dalam hubungan pacaran, emmm ta'aruf pun bukan. Namun aku tau,
kami memiliki hubungan yang tak biasa. Tak sekedar teman ataupun rekanan
mahasiswa. Entahlah, mungkin bisa dikatakan hubungan tanpa status. Yang aku
tau, aku menyukainya dan ia pun sama, ya kurasa Ia menyukaiku.
Mulanya, kami tak sengaja bertemu di sebuah seminar
umum yang mengkaji mengenai Belajar Sastra dan Bahasa arab Alqur'an di salah
satu perguruan tinggi ilmu qur'an ternama di Jakarta. Meski aku bukan mahasiswi
yang bergelut didunia sastra, namun aku selalu tertarik untuk belajar dan
mengkajinya. Bagiku, ini adalah suatu hal yang sangat menyenangkan. Aku selalu
kagum dengan semua orang yang bergelut didunia ini. Menurutku mereka keren!.
Karna aku tau, bukan suatu hal yang mudah untuk menguasainya, sastra arab.
Pikirku, aku ingin menjadi bagian diantara orang-orang keren itu. hihiiiiii.
Saat berlangsungnya seminar itu aku sangat
menikmati kajian materinya, sangat bagus dan berbobot. Sampai pada saat
dimulainya sesi tanya jawab, seorang mahasiswa berkacamata melontarkan sebuah
pertanyaan dengan lugas. "Degggggggh..." tiba-tiba saja, entah kenapa
seperti ada yang menghujam jantungku. Bukan karna fisiknya atau kacamata yang
ia gunakan saat itu, tapi karna lontaran pertanyaan dan tentu saja karna bahasa
arab yang ia gunakan adalah bahasa arab urdu yang tak biasa. Sangat keren
bagiku. Sampai seusai seminar umum itu aku nekat untuk berkenalan dengannya
dengan dalih ingin belajar bahasa arab urdu itu dengannya. Ah itu tak hanya
sekedar dalih, namun aku benar-benar ingin menguasainnya. Tentu saja salah satu
cara untuk aku bisa menguasainya adalah dengan menjadikan dia sebagai guruku.^^
Dari peristiwa itu, aku dan dia mulai menjadi
partner belajar bahasa arab, seminggu sekali kami kami selalu meluangkan waktu
itu itu. Dan tak hanya belajar tentang itu, kami juga sering membahas ilmu-ilmu
lainnya, ilmu apa saja. Kegiatan ini berlangsung cukup lama, hampir 2 tahun
kurasa. Hingga hubungan kami berubah status menjadi hubungan yang tak biasa.
Dalam suka-duka, ia lah orang pertama yang ingin aku temui. Dia pun sama,
teman-teman kami, bahkan keluarga kami pun sudah saling mengenal. Ya, bisa
kupastikan kami memiliki hubungan yang tak biasa.
Pacaran, sempat kata itu menjadi perbincangan
hangat dan membahagiakan saat itu untuk kami. Namun, kami tak lakukan itu.
Karna baik aku maupun dia sudah sama-sama mengerti tentang keharaman hubungan
itu. Lalu hubungan kami?? ya aku tau, bahwa hubungan kami tak bedanya dengan
hubungan terlarang itu, hanya status namanya saja lah yang berbeda.
Tapi dapat kami tegaskan, kami tak pernah melakukan
hal-hal yang dilakukan orang-orang berpacaran lainnya. Kami tau batasan-batasan
dalam bergaul. Kami tak pernah sekalipun berpegang tangan, pertemuan kami pun
selalu ditempat-tempat ramai. Entahlah, aku dapat memastikan hal-hal itu
kecuali satu hal. Hati kami. Meski kami saling suka, namun kami tetap menjaga
rasa. Pikirku saat itu. Kami saling berkata, bahwa saat indah nanti kelak kita
akan bersama. Hanya tak sekarang, dan untuk saat itu biarkan hubungan kami
berjalan seperti sekarang. Akupun menyutujuinya, karna jujur aku tak sanggup
berpisah darinya. Aku telah benar-benar mencintainya.
Lambat laun, hubungan kami semakin manis.. bukan
karna kami semakin dekat. Bukan. Sama sekali bukan. Justru karna kami telah
berpisah. Ya kami berpisah. Benar-benar berpisah. Dan status hubungan kami pun
menjadi jelas. Tanpa status apapun. Aku katakan ini manis, memang bagi kami ini
adalah hubungan yang manis. Ah sangat manis sepertinya.^^
Setahun belakangan kemarin sebelum kami berpisah,
kami aktif untuk menghadiri seminar-seminar umum diberbagai perguruan tinggi.
Tentu saja aku melakukannya bersama dia, Ahmad Qasam orang yang ku cintai.
Kecintaan kami terhadap sastra melebar ke ilmu-ilmu lainnya, salah satunya
adalah fikih. Entah mengapa sejak kami mengikuti berbagai seminar yang membahas
tentang kajian fikih, membuat kami sangat tertarik untuk mengkaji mengenai
kajian fikih itu lebih dalam dan dalam lagi. Kami berdua seperti terhipnotis
dibuatnya. Mungkin karna dalam kitab fikih menggunakan bahasa arab yang membuat
kami lebih bersemangat.
Hingga sampai suatu hari, kami menyadari bahwa ada
yang salah dengan hubungan kami. Dalam kitab fikih itu dijelaskan dengan jelas
tentang bagaimana seharusnya pria dan wanita yang bukan mahrom berhubungan.
Dalil-dalinya pun dengan jelas tertera disana. Saat itu kami diam dan hanya
saling menatap. Benar-benar menjadi perenungan panjang buat kami. Hingga tak
lama, aku meneteskan air mata. Dalam diam, berjuta pertanyaan berkecamuk
didada.
"Salahkah hubungan ini?? lalu apa harus
kuakhiri, tapi aku sangat mencintainya... sungguh. Aku harus bagaimana?? tapi
bila lanjut, aku tau ini dilarang oleh agama. Hubungan kami.. salah! tapi aku
mencin..." Aku tak sanggup melanjutkan lirihan dalam hatiku. Aku semakin
terisak. Tangan ku bergemetar. Kepalaku pening. Aku berharap saat itu aku
pingsan saja, namun ternyata tidak. Aku ingin bergumam, namun bibirku kelu.
Seperti terisolasi ribuan lakban. Lalu tiba-tiba saja,tangan Ahmad orang yg aku
cintai hendak menyentuh tanganku namun ia urungkan.
"Kita... sudahi saja semuanya." Ahmad
berkata secara tertatih. Tak lugas seperti biasanya. Nampaknya, saat itu ia pun
seperti tak rela melepasku. Aku menghela nafas panjang. Ku kuat kan azzamku.
Dan aku menyetujuinya.
Saat itu, tak ada kata-kata perpisahan ataupun
kata-kata mesra lain yang terucap. Hanya sebuah senyuman dengan air mata
terbendung yang terlihat. Dan kami pun berpisah. Entah kenapa, setelah aku
memutuskan hubungan ini, aku merasa seperti melepaskan beban berat di pundakku.
Sedih. Tentu saja aku sedih. Orang mana yang tidak sedih bila harus berpisah
dengan orang yang dicintainya. Meski pedih namun inilah jalan yang harus aku
dan dia lalui. Berjalan sesuai syariat-NYA. Itu mutlak harus dilakukan dan
tidak ada tawar menawar. Karna itulah yang terbaik untuk kami. Meski hubungan
kami bukanlah pacaran, namun kami sadar intensitas pertemuan kami sudah
selayaknya insan yang berpacaran.
Setelah kejadian itu, aku mulai belajar serius
tentang bidang-bidang ilmu agama lainnya. Aku pun mulai melebarkan kerudungku,
melonggarkan pakaianku, dan benar-benar menjaga muruah serta izzahku.
Sebenarnya aku sudah berhijab lama sebelum aku mengenal Ahmad Qasam, namun
belum sesyar'i saat ini ku rasa. Masih terbawa trendi arus zaman. Dikampus, aku
pun mulai mengikuti kajian-kajian islami rutin. Menambah wawasan pikirku.
Delapan bulan berlalu, aku benar-benar merasa
menjadi pribadi yang berbeda. Dan Ahmad, aku tidak tau sedikitpun tentangnya.
Sempat terbesit untuk menghubunginya, namun aku urungkan. Ya aku paksa
urungkan. Biarlah Allaah yang mengatur segalanya. Aku benar-benar berpasrah
diri. Bila rindu akannya meraja, aku hanya bisa berdoa pada-NYA di jannah IA
pertemukan kami kembali. Pintaku sesederhana itu.
Mengawali awal semester 8, saat itu usiaku 22
tahun. Aku disibukkan oleh segudang kegiatan untuk mempersiapkan skripsi ku.
Sampai suatu hari ibu ku tiba-tiba memintaku untuk menikah. Usiaku sudah cukup
katanya. Tentu saja aku menolaknya, dengan alasan aku ingin fokus pada
skripsiku. Ibu pun memakluminya.
Hari berganti hari, hingga akhirnya usailah masa
kuliahku. Aku diwisuda. Beribu ucap syukur yang ada kala itu.
"Alhamdulillah.." Ujarku saat itu. Ucapan selamat pun berdatangan
kerumahku. Aku benar-benar bersyukur. Hanya saja, tiba-tiba wajah Ahmad
melintas dibenakku. Dia tersenyum dan mengucapkan ucapan selamat padaku dengan manisnya.
"Astaghfirullaah! Mikir apa aku ini." Aku beristighfar dan menepis
angan-angan kosong itu.
Kini aku bekerja di salah satu lembaga zakat
indonesia, aku bahagia bekerja disana. Dikelilingi teman-teman sekantor yang
seakidah dan yang terpenting waktu sholat kami di berikan waktu yang cukup
lama, jadi kami tidak tergesa-gesa. Berbeda jika aku bekerja dikantoran.
Ditempat ini, aku memiliki sahabat karib. Kami
memang baru beberapa minggu saja bertemu, namun kami telah akrab. Namanya Hafla
Naura Salsabila. Namun, aku biasa memanggilnya dengan Bulan. Panggilan
kesayanganku untuknya. Aku memanggilnya bulan karna dia selalu melakukan banyak
aktivitas di malam hari, mulai dari bertahajud, menghafal, membaca alqur'an,
bahkan hampir setiap malam dia mendengar semua keluh kesahku. Ya, kami sekamar,
semenjak bekerja aku memutuskan untuk mencari kontrakan. Agar mandiri tekadku.
Hafla, dia benar-benar seperti rembulan buatku.
Hadir dimalam hari dan menerangiku dengan ilmu-ilmu dinnya. Karnanya, aku pun
menjadi seperti bulan juga. Ah tidak, mungkin aku hanya menjadi bintangnya
saja, yang selalu mengiri keindahan bulan dimalam hari. Aku benar-benar
menyanginya. Alhamdulillaah.
Tahun ini, aku mendapat kabar kejutan dari
orangtuaku. Aku diajak ta'aruf. Aku ingin menolaknya, namun aku tak kuasa.
Bapak bilang ia adalah seorang yang berpendidikan dan yang terpenting dia
sholih, insyaallaah. Mendengar kata sholih, akhwat mana yang tak bergembira.
Aku pun sama, bergembira. Bersyukur. Awalnya aku sempat ragu, namun setelah
istikharah. Akupun mantap untuk menyetujuinya.
Hari untuk nadzar kami pun telah ditentukan. Sabtu
ini dirumah kami, entah karna aku begitu bodohnya atau apa, aku sampai lupa
menanyakan nama dari pria tersebut. Mungkin karna aku begitu bahagia mendengar
kata sholih. hihihi.^^
Hari nadzor pun tiba, aku menggunakan kerududung
dan gamis hijau. Aku berharap berpenampilan cantik tentu saja. Tak lama aku pun
dipanggil keluar kamar. Sambil berjalan aku melihat pria bersahaja duduk.
"Ah..mad?" Aku terkejut. "Na'am, ana
Ahmad Qasam Amrul Haq." Ahmad menjawab dengan lugas disertai senyum manis
diwajah teduhnya.
"Subhanallaah..." Aku terkejut, langsung
saja ku peluk ibu ku karna bahagianya. Dia, yang duduk disana.. calon suamiku
nampak sangat berbeda. Celananya berbeda, tak isybal. Alhamdulillaah. Wajahnya
pun berbeda, dia tampak teduh sekarang dengan janggut tipis di dagunya.
Alhamdulillaah. Dia lebih alim, arif, dan berilmu. Alhamdulillaah.
Hari walimah kami telah ditentukan, 2 minggu
setelah pertemuan nadzor ini. Seminggu sebelum hari walimahku, aku menyempatkan
diri untuk ke kontrakan ku untuk mengambil barang-barangku, dan tentu saja
untuk bertemu dengan Hafla. Bulanku tercinta. Aku kesana untuk mengantarkan
undangan special, harus datang paksa ku saat itu. Saat itu memang sedikit
gelap;mendung. Namun tak sampai hujan. Dijalan, entah apa yang ku rasa.
Sepertinya aku merasa pusing. Mungkin karna aku terlalu lelah menyiapkan
walimahku.
Tepat pukul 13.00 aku sampai di sebrang
kontrakanku, ketika aku hendak melangkah tiba-tiba aku merasa pusing. Aku
berjalan perlahan, tapi tiba-tiba saja tubuhku tertabrak sesuatu. Lalu gelap.
Sesadarnya, aku berada dirumah sakit.
Kepalaku sakit. Ibu menangis, Bapak juga. Aku tak
mengerti. Ahmad. Ah ya, dia juga ada diruangan ini. Ahmad Qassam, calon suami
tercintaku. Dia menangis juga. Ada apa. Kenapa semua menangis. Aku tak
mengerti. Mulutku kelu. Kata ibu, sudah 3 hari aku koma. Saat itu aku tertabrak
mobil dengan kecepatan tinggi.
4 Hari sebelum pernikahanku, aku masih berbaring
dirumah sakit. Kaki ku patah. Entah apa yang akan terjadi pada walimahku, dalam
4 hari tak mungkinkan aku bisa sembuh total. Aku hanya pasrah.
Sore itu, Ahmad datang menjenguk. Nampak wajah
khawatir di guratan senyumnya. Aku katakan aku baik-baik saja, dan dia pun hanya
mengangguk. Mungkin dia tau bahwa aku sedang berbohong.
"walimah kita bagaimana?" tanya ku penuh
tanya. "Akan ditunda sampai kau benar-benar sehat." jawabnya lugas.
Aku bahagia meski sungkan. Aku meminta maaf, sungguh karna ku semua jadi
tertunda. Dia hanya tersenyum. Manis.
Tiba-tiba ada yang datang mengetuk pintu. Hafla,
dia pun meminta izin untuk masuk. Dan aku pun mempersilakannya. Hafla berlari
kearahku sambil menangis. Aku hanya tertawa. Aku katakan aku baik-baik saja.
Lalu ku kenal kan ia pada Ahmad, calon suamiku. "Bulan, ini Ahmad calon
suamiku. Dan Ahmad, ini Bulan eh Hafla teman karibku." Ucapku
memperkenalkan mereka berdua. Mereka hanya tersenyum. Aneh pikirku. Dan saat
itu juga, Ahmad pamit.
Entah kenapa, saat itu aku melihat bulan tercinta
ku murung. Apa karna aku yang sedang sakit? Aku rasa tidak. Tapi lalu aku
abaikan. Karna mungkin hanya praduga ku saja. Tak lama, Hafla mendapat telfon
lalu pamit dengan buru-buru. Tas laptop nya tertinggal. Aku memanggilnya namun
ia tak mendengar.
Karna berhari-hari dirumah sakit, dan merasa jenuh.
Aku memutuskan untuk meminjam laptop Bulan ku. Aku biasa bertukar laptop
sewaktu dikontrakan dulu. Jadi tidak apa-apa ku pikir untuk menggunakannya. Aku
membukanya, namun aku menemukan sebuah blog yang belum di log-out. Aku
membacanya. Aku pikir ini adalah karya tulisnya yang sedang ia persiapkan untuk
salah satu majalah islami. Hafla adalah penulis lepas. Aku mulai membacanya.
Ternyata aku salah. Ini adalah curahan hatinya. Aku tau, tak seharusnya ku baca
ini. Namun aku bosan, jadi aku tetap membacanya.
Aku kagum dengan tulisan-tulisanya. Menarik.
Tapi... tiba-tiba aku shock ketika menemukan note 8 bulan yang lalu. Bukan
karna tulisannya yang mengagumkan. Namun karna aku temukan nama Ahmad Qasam disana.
Aku membaca goretan noktahnya dengan hati luka tersayat. Mereka.. ternyata
mereka telah saling kenal. Bukan hanya itu. Di masa silam, mereka pernah
berta'aruf dan hampir menikah pula. Namun karna orang tua Hafla ditahun itu
telah mendaftar umrah, mereka pun memutuskan untuk menundanya. Hafla terus
menanti hari dimana mereka berdua akan bersatu. Sampai tiba-tiba saja Ahmad
dipindah tugas kan ke luar kota lalu menghilang tanpa kabar. Tapi Hafla tetap
menunggunya, karna ia yakin Ahmad akan kembali, dan karna.. Aku menangis
membacanya, karna Hafla terlanjur mencintainya.
Seketika aku menutup laptopnya, dan lagi-lagi aku
merasa gelap. Aku pingsan lagi. Kata ibuku saat itu. Ketika sadar, aku langsung
menggenggam tangan ibuku. Lalu aku mengambil keputusan terberat dan memilukan
untuk ku. Aku memutuskan untuk memutuskan hubungan ku dengan Ahmad, aku sama
sekali tak menceritakan kejadian sebenarnya pada ibu ku. Aku tak ingin
melihatnya kecewa. Aku juga tak ingin untuk yang kedua kalinya berpisah dengan
Ahmad, namun aku pun tak kuasa melukai hati karibku, Bulan. Dia terlalu baik
untuk disakiti. Aku memaksa diriku ikhlas.
2 hari lagi hari walimah kami, pagi itu aku
mengajak Ahmad bicara empat mata serius. Aku menuntut cerita darinya. Cerita
tentang ia dan Hafla. Awalnya ia tak mengakui hubungan nya dengan Hafla, karna
memang ia tak ingin melukai hatiku. Katanya, antara Hafla dan dirinya sudah tak
memiliki hubungan apa-apa lagi. Ta'aruf mereka telah lama usai, sampai sekarang
dia menemukan kabar tentangku. Katanya, ia masih menyukaiku hingga sekarang.
Namun tetap saja, aku tak ingin Hafla menangis terluka. Saat itu aku bingung.
Aku memaksanya untuk memutuskan hubungan ini. Namun ia menolak. Saat itu juga
Hafla datang, ia bingung mengapa aku menangis sedemikian rupa.
Aku mengajaknya duduk bersama kami. Sebelum aku
bicara lanjut, aku meminta maaf padanya karna telah lancang membuka laptop
serta menbaca curahan hatinya. Lalu aku ceritakan semua benakku padanya,
tentang rasa bersalahku padanya, tentang kebingunganku, tentang semuanya.
Seketika Hafla menangis, ia memohon agar aku tak membatalkan pernikahan yang
tinggal 2 hari itu. Aku katakan padanya, aku tak mungkin menikah dengan keadaan
kaki ku masih patah seperti ini. Lalu aku meminta Hafla untuk menggantikanku.
Entah ungkapan bodoh apa itu. Itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku
menangis tersedu. Aku tak tau harus berbuat apa. Bila aku bisa berlari, ingin
aku berlari ke manapun aku bisa. Namun aku tak bisa. Aku meninggalkan mereka
berdua untuk bicara. Aku tak tau harus berbuat apa. Apapun keputusan mereka.
Aku akan menerimanya.
Tak lama mereka berdua menemuiku, mereka telah
memutuskan agar aku melanjutkan pernikahanku, bahkan pernikahannya pun
diurungkan untuk ditunda. Pernikahan akan tetap dilaksanakan apapun keadaan ku.
Aku pun menerimanya meski dengan hati tersayat. Namun aku tak peduli, aku
berusaha untuk mengapatiskan diri, aku telah memberikan pilihan untuk mereka
sebelumnya. Dan mereka pun telah memilihnya. Mereka harus menerima apapun
konsekuensnya, pikirku.
Pernikahan kami pun berlangsung sederhana, dengan
kaki ku masih ter-gif. Aku melihat Hafla hadir dipernikahanku, ia cukup tegar
rupanya. Mungkin aku tak akan hadir bila menjadi dia. Aku takan sanggup melihat
orang yang ku cintai bersanding dengan wanita yang lain. Namun bukan Hafla jika
bersikap demikian, tegasku.
Dimalam pernikahan kami, aku banyak mendengarkan
cerita darinya. Aku pun menceritakan banyak hal padanya. Kami terus saja
tertawa bahagia malam itu. Saat itu mungkin aku merasa menjadi wanita paling
kejam sedunia. Karna aku bahagia diatas penderitaan teman karibku. Namun aku
tepiskan itu, karna aku yakin temanku akan jauh menderita bila aku bersedih
atasnya.
Saat ini, aku dan Ahmad Qasam telah menjadi
pasangan sah. Banyak hal yang bisa kami lakukan bersama dengan leluasa
tentunya. Dan meski kami telah menikah, kami masih sering mengikuti
seminar-seminar umum diantara kesibukan kami. Itu mengingatkan kami pada masa
dahulu. Aku hanya bisa tersenyum.
Di lima bulan pernikahan kami, aku mengandung anak
pertama kami. Usianya baru 1 minggu, alhamdulillah keluarga kami bertambah
bahagianya. Ahmad suami tercinta ku benar-benar memanjakan ku. Aku berhenti
bekerja saat datang kehamilanku ini. Tak boleh terlalu lelah kata Ahmad, dan
aku pun menurut. Sampai suatu malam, aku memimpikan Bulan ku. Dia terlihat
sangat pucat dan lesu. Keesokannya ketika aku bangun, aku ceritakan hal itu
pada suamiku. Aku mulai mengkhwatirkan Hafla. Setelah pernikahan kami, Hafla
memutuskan untuk pindah ke luar kota. Namun ia tak katakan kemana. Ahmad bilang
itu hanya sebuah mimpi, dan menyuruhku untuk tak khawatir. Namun aku tak bisa.
Aku mulai mencari info tentang keberadaan Hafla. Dan aku mendapatkan alamatnya.
Saat itu juga, aku dan Ahmad pergi menemuinya.
Benar saja, ternyata keadaan Hafla tidak baik. Ia
terlihat pucat sekali. Dan kurus. Aku menangis melihatnya.
"Kau kenapa hafla??" Tanyaku sambil
menangis dipeluknya.
"Aku baik-baik saja kok." Jawab Hafla
singkat.
Aku tak percaya begitu saja. Aku tanyakan keadaan
Hafla pada ibunya. Ibunya mengatakan, bahwa akhir-akhir ini ia berusaha keras
melupakan Ahmad dengan melakukan banyak ibadah. Sampai terkadang ia tidak
tidur. Aku menangis menangis tersedu mendengarnya.
Malamnya kami pamit pulang. Tak sepatah katapun
keluar bibir kami, aku dan suamiku. Sekarang, suamiku yang terlihat khawatir.
Aku melihatnya benar-benar mengkhwatirkan Hafla.
Dalam tahajudku malam ini, aku mencurahkan semuanya
pada Allah. Hingga aku tertidur pulas di atas sajadahku.
Esok paginya, aku melihat suamiku murung. Aku
tanyakan mengapa dan ia katakan tidak ada apa-apa. Aku bingung. Semenjak kami
bertemu Hafla, sikapnya berubah dingin padaku. Aku tak ambil pusing awalnya,
karna ku fikir mungkin ini hanya sementara. Tapi ternyata perkiraanku salah.
Sudah beberapa minggu ia dingin padaku. Aku bertanya padanya, apakah aku
melakukan salah kepadanya. Namun ia katakan tak ada. Aku semakin bingung
dibuatnya. Aku sedih.
Lalu aku teringat Hafla, apa semua ini karna dia.
Apa sekarang Ahmad menyesal menikahiku. Aku mengajak Ahmad bicara serius, tapi
kami malah bertengkar. Ahmad bilang ia tak ingin diganggu saat ini. Sampai aku
mendengar hal-hal yang tak ingin aku dengar. Ahmad, meminta ku untuk berpisah
dengannya. Aku kaget, aku terkejut. Mengapa ia setega itu. Aku tanya apakah ini
karna Hafla. Dan ia katakan ya. Aku langsung jatuh pingsan saat itu.
Perutku sakit sekali, ah tidak. Ini tak sesakit
hatiku. Ahmad datang dan meminta maaf padaku, ia berjanji takan melakukan hal
ini lagi padaku. Ia menangis, ia katakan ia hanya terbawa emosi. Dan tentang
Hafla, ia hanya merasa bersalah padanya karna ia menjadi seperti itu karna dia,
karna suamiku. Aku tersenyum dan memaafkannya. Mungkin aku akan melakukan hal
yang sama jika aku berada diposisinya. Ahmad menggenggam tanganku erat. Kini
aku merasakan kehangatannya kembali. Aku hanya bisa menangis bahagia.
Tapi tiba-tiba perut ku sakit lagi. Sakit sekali.
Ahmad panik, ia lalu keluar memanggil dokter. Dokter datang dan langsung
memeriksaku. Kata dokter aku keguguran. Seketika aku menjerit, aku menangis.
Anakku. Dia telah pergi. Aku sedih, namun Ahmad lebih sedih. Katanya semua ini
katanya. Aku semakin sedih dibuatnya. Aku katakan tak apa. Karna semua ini
milik-NYA. Aku mencoba tegar.
Satu minggu kemudian aku keluar dari rumah sakit.
Aku sudah baik-baik saja alhamdulillah. Malamnya aku duduk berdua disudut kamar
bersama Ahmad, kami bersenda gurau. Lalu aku bicara serius. Bagaimana kalau
Ahmad menikahi Hafla. Ahmad terkejut. Aku katakan bahwa aku serius tak
bercanda. Ahmad menolaknya.
Aku terus saja membujuknya. Aku tau ini bukanlah
hal yang mudah, dan sangat tak masuk akal ada istri meminta untuk di madu. Aku
tau ini akan menyakitkan untukku, namun aku yakin suamiku mampu berlaku adil.
Suamiku marah padaku, ia katakan bahwa ia takan pernah melakukan hal semacam
itu. Tapi aku tak menyerah. Aku katakan aku mencintainya, akupun yakin bahwa ia
pun mencintaiku. Tapi Hafla, aku benar-benar khawatir padanya, aku tak bisa
bahagia diatas penderitaanya. Aku pun melihat satu hal dari mata suamiku. Aku
melihat Ahmad merindukan hadirnya Hafla.
Malam itu aku terus saja membujuknya, aku katakan
bahwa aku menginginkan syurga atas hal ini. Suamiku menangis dan mendekapku
erat, lalu ia katakan bahwa ia akan melakukannya. Aku bahagia mendengarnya.
Dalam tahajudku, aku menangis, mengadu pada-NYA. Bahwa sungguh hatiku sakit.
Meski aku yang meminta perihal ini, namun aku tak kuasa menahan pedihnya.
Berbagi suami. Hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Namun aku mencoba
ikhlas. Aku bahagia. Ya aku harus bahagia. Ah tidak. Kami bertiga harus
bahagia.
Dihari pernikahan mereka, aku hanya mampu menahan
haru dari balik tirai. Aku cemburu melihat mereka berdua tersenyum hangat. Air
mataku terjatuh. Meski cemburu, namun aku bahagia.
Dimalam pernikahan mereka, aku menyiapkan
segala-galanya. Kamar pengantin ku hias sedemikian indahnya. Lalu mereka berdua
datang, lantas memelukku. Aku bahagia memiliki kalian, aku katakan padanya.
Lalu Ahmad menggenggam erat tanganku dan mengatakan bahwa ia mencintaiku. Aku
tersenyum bahagia mendengarnya. Lalu aku bisikan di telinga Ahmad, suami yang
aku sangat cintai.. bahwa rembulan ini untukmu, sayang.